Santri adalah sebutan untuk umat Muslim yang mondok atau belajar di pesantren. Dalam perkembangannya, memang mulai muncul sebutan santri untuk sekolah-sekolah Islam non pesantren, tapi sangat terbatas.
Nah, Sandiaga tidak masuk ke kedua kelompok itu. Sandi menuntut ilmu di sekolah-sekolah "belanda"- sebutan sekolah di luar pesantren di zaman dulu. Bahkan SMA-nya di sekolah Katolik.Â
Selepas sekolah di Amerika Serikat, Sandiaga menjadi pengusaha sukses sehingga tidak ada rekam jejak dirinya mondok atau belajar agama Islam di sebuah sekolah khusus keagamaan (Islam), meski secara ilmu agama mungkin saja mumpuni. Tetapi, sekali lagi, santri bukan sebutan untuk seseorang yang memiliki ilmu agama (Islam) tingkat tinggi, melainkan seseorang yang belajar di pondok pesantren.
Sedang post-islamisme jika mengacu pada penjelasan Sohibul lebih kurangnya Islam modern. Dengan demikian santri post-islamisme adalah seorang yang sudah belajar (menguasai) ilmu agama (Islam) di era atau secara modern.Â
Tetapi hal itu jelas tidak sesuai semangat yang selama ini digembor-gemborkan sejumlah ulama karena jika diulik lebih dalam, Post-islamisme adalah gerakan jalan tengah kelompok Islam terhadap modernitas seperti penerimaan terhadap sistem politik saat ini meski "tidak sesuai" dengan konsep ideologis yang mereka yakini. Sementara ada sebagian ulama di Indonesia rajin menyebut sistem politik dan pemerintahan saat ini ibarat thogut- sesuatu yang disembah selain Allah SWT.
Lalu mengapa Sohibul Iman nekad melabeli Sandiaga sebagai santri, meski ada penambahan post-islamisme? Benarkan untuk tujuan menarik pemilih Islam? Jika benar tujuannya seperti itu, maka setidaknya ada tiga hal yang ingin dibidik Sohibul.
Pertama, menyelamatkan citra PKS sebagai partai dakwah. Alangkah memalukan jika koalisi keumatan justru mengusung pasangan nasionalis tulen, bahkan "abangan".
Kedua, meredam ulama yang aspirasinya diabaikan oleh Prabowo. Meski mereka (mungkin) tahu sebutan itu hanya kamuflase, tetapi itu tetap jalan terbaik. Daripada tidak ada embel-embel sama sekali, mereka tentu akan kebingungan manakala ditanya jamaahnya mengapa ustadz menyuruh mereka memilih Prabowo yang tidak bisa "ngaji".
Ketiga, ini yang ekstrem. Beberapa kader PKS dan PAN, terlihat seperti nyaman dengan isu-isu berbalut agama karena memang bisa membangkitkan semangat (ghirah) sekaligus perekat perjuangan. Menjadi sah ketika mereka mengkampanyekan Sandiaga dari sisi agama karena kini sudah "santri". Dari perspektif ini, kemungkinan adanya isu agama dalam kampanye pilpres pun tak terelakkan.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H