Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menyodorkan dua alasan sebagai dasar penolakan terhadap Mahfud MD menjadi cawapres petahana Presiden Joko Widodo.Â
Jika ditelaah lebih jauh, sebenarnya bukan karena alasannya yang brilian sehingga mampu mengubah pilihan Jokowi dari anggota Dewan Pengarah BPIP ke ke Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin.
Kini publik mengetahui jika sebenarnya Jokowi sudah memutuskan nama Mahfud MD sebagai cawapres seminggu sebelum diumumkan Kamis sore, 9 Agustus 2018. Â
Keputusan tersebut tidak diketahui ketua-ketua umum partai pendukung. Setidaknya belum diketahui oleh Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum PPP Romahurmuziy (Rommy). Hingga kemudian sehari sebelum pengumuman, Sekretaris Negara Pratikno menghubungi Mahfud untuk bersiap. Paginya, setelah mendapat kepastian, Mahfud langsung fitting kemeja putih lengan panjang yang disebutnya favorit Jokowi.
Hal itu kemudian diketahui oleh Muhaimin, Rommy dan sejumlah pengurus partai lainnya sehingga muncul berbagai pernyataan antara yang mendukung dan menolak. PSI dan Nasdem tidak mempersoalkan, sedang Muhaimin langsung menolaknya secara frontal.Â
Di samping mengajak PBNU sehingga keluar ancaman tidak akan mendukung karena Mahfud bukan kader Nahdlatul Ulama (NU), Muhaimin juga membujuk PPP untuk ikut menolak.Â
Muhaimin menawarkan solusi penggantinya bukan dirinya tetap Ma'ruf Amin. Hal ini yang membuat Rommy terpincut karena memang sejak lama menginginkan cicit Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani, ulama besar yang pernah menjadi Imam Masjidil Haram tersebut sebagai cawapres Jokowi.
Setelah berhasil meyakinkan Rommy, Muhaimin lalu melobi ketua-ketua umum partai pendukung lainnya dengan membawa dua alasan. Pertama, jika tujuan Jokowi menggandeng Mahfud MD untuk mendapat dukungan Nahdliyin, maka hal itu keliru. Sebab, menurut Muhaimin, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut justru bagian dari masalah di NU. Â
Benarkah alasan tersebut? Mahfud termasuk orang kepercayaan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Pakar hukum Tata Negara asal Sampang, Madura ini, pernah menjadi Menteri Pertahanan di masa Gus Dur berkuasa. Mahfud dianggap sebagai Gusdurian sejati.Â
Persoalannya, PKB Muhaimin tidak akur dengan keluarga Gus Dur. Hal ini merupakan buntut dari perpecahan di tubuh PKB dan sempat menimbulkan dualisme kepemimpinan yakni antara Muhaimin dengan Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid alias Yenny Wahid, putri tertua Gus Dur.
Perselisihan yang terjadi sejak 2006 lalu, dan sempat terjadi insiden rebutan nomor urut PKB menjelang Pemilu 2009, sampai kini masih membara. Orang-orang NU yang pro Gus Dur, seperti Khofifah Indar Parawansa, dijauhi oleh Muhaimin dan kelompoknya yang bercokol di PBNU. Dari sini bisa dimengerti mengapa Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj sampai berujar Mahfud bukan kader NU. Sedang di sisi lain Yenny tegas menyebut Mahfud kader NU tulen.
Lalu siapa yang benar di antara Said Aqil dan Yenny? Ada anekdot, di Madura tidak ada Islam, tapi NU. Orang Madura sudah NU sejak masih di dalam kandungan. Tetapi jika ke-NU-an seseorang ditentukan berdasarkan kepengurusan di organisasi, Said Aqil yang benar meski dampaknya jutaan orang Madura dan Jawa yang selama ini rajin tahlilan, bukan NU karena yang pernah menjadi pengurus NU atau organisasi sayapnya, hanya segelintir orang. Â Â
Apakah jika Mahfud menjadi cawapres Jokowi akan ditolak warga NU di bawah, bukan hanya segelintir pengurus di pusat? Tentu tidak. Meski di NU ada kultur samina watona dan taqlik- ketaatan tanpa tanya, terhadap kyainya, tetapi kemenangan Khofifah di Pilgub Jawa Timur 2018 bisa menjadi contoh bagaimana kyai-kyai NU di bawah tidak selalu ikut garis politik PKB dan PBNU manakala ada dua orang NU yang harus dipilih. Terlebih ketika lawannya bukan dari NU, seperti Prabowo Subianto -Sandiaga Uno. Bisa dijamin, warga NU di akar rumput akan berada di belakang Mahfud.
Alasan kedua, Mahfud akan menjadi ancaman, bahkan berpotensi menutup peluang capres dari parpol di pilpres 2024. Ini gaya Muhaimun dalam rangka menciptakan musuh bersama, kepentingan bersama, sebagai isu perekat; khas aktivis jalanan, bukan politisi.
Melakukan antisipasi untuk lima tahun mendatang, sangat tidak masuk akal karena politik bisa berubah dalam sekejap. Peristiwa politik tidak bisa dirancang. Bukankah Muhaimin gagal mewujudkan keinginannya yang sudah dirancang sedemikian rupa, dideklarasikan di seluruh pelosok negeri dan di berbagai kelompok masyarakat terutama kaum santri, tani dan nelayan? Â
Logikanya, jika sudah berbicara tentang antisipasi lima tahun mendatang, PDIP mestinya tidak memberikan ruang terlalu lebar terhadap PKB karena bisa mengganjal Puan Maharani. Bukankan tidak mustahil Ma'ruf akan maju bersama Muhaimin di Pilpres 2024? Jika usia yang dijadikan alasan, lima tahun mendatang usia Ma'ruf baru 80 tahun, sementara Mahatir Mohamad memenangkan Pemilu Malaysia di usia 92 tahun. Soeharto masih menjadi presiden di usia 77 tahun. Jika tidak dipaksa turun, kemungkinan Soeharto akan terpilih kembali di tahun 2002 di usia 81 tahun.
Contoh di atas hanya sebagai penegas, sungguh aneh manakala Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sampai terpengaruh dengan alasan Muhaimin untuk membatalkan keputusan Jokowi terhadap Mahfud. Pasti ada faktor lain di luar kedua alasan Muhaimin. Apa itu?
Pertama, waktunya sangat mepet. Jokowi dan partai pendukung kehabisan waktu untuk melakukan negoisasi. Puluhan pertemuan sebelumnya, termasuk di Istana Bogor yang disebut Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto sudah mengerucut pada satu nama ternyata seperti sudah diduga, sama sekali tidak benar. Para ketua partai tetap kekeuh dengan keinginannya sementara Jokowi hanya menunggu tercapainya kesepakatan di antara mereka.
Kedua, membendung terbentuknya poros ketiga yang diinisiasi Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Seperti diketahui, SBY masih terus berusaha membentuk poros ketiga sebagai reserve manakala Prabowo tidak menggandeng AHY. Jika PKB menarik dukungan, SBY tinggal mengontak PAN dan terbentuklah poros ketiga mengusung AHY-Muhaimin. Jokowi tidak mau hal itu terjadi. (Terkait hal ini akan dibahas tersendiri pada tulisan lain)
Ketiga, keulamaan Ma'ruf Amin bisa menjadi peredam isu anti Islam yang selama ini dimuntahkan sekelompok ulama kubu oposisi pada Jokowi.
Padahal ada "ancaman" besar yang (mungkin) tidak disadari Megawati dan kawan-kawan. Pertama, pergantian ketua umum MUI. Siapa yang menjamin ketua umum MUI mendatang bukan berasal dari ulama pengikut Habib Rizieq Shihab? Beberapa ulama MUI yang saat ini tengah bersinar, termasuk Ketua GNPF Ulama Yusuf Martak, cukup vokal terkait isu-isu agama. Jika kelompok Rizieq bisa mengambil MUI, kemungkinan akan "banjir" fatwa yang oleh sebagian orang mungkin akan dianggap intoleran.
Kedua, masih banyak pendukung Ahok yang belum lupa pada fatwa penista agama yang kemudian dijadikan dasar demo umat Muslim dan juga penetapan tersangka terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Belum lengkang dari ingatan bagaimana tajamnya Ahok "menginterogasi" Ma'ruf Amin saat menjadi saksi di persidangan. Â Â Â
Benar, semua sudah terjadi dan kini tinggal bagaimana kubu Jokowi-Ma'ruf memaksimalkan kelebihan dan menekan sisi kelemahannya. Namun satu hal penting yang bisa dijadikan pelajaran bagi para politisi, terutama yang baru mau menjejakkan kakinya, adalah konsistensi dan keteguhan hati atas pilihannya karena tidak ada pilihan politik yang benar-benar sempurna.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H