Kasih ayah sepanjang panjang. Sekejam-kejamnya politik ternyata masih menyisakan ruang kasih sayang. Setidaknya itu yang dapat ditangkap di balik keputusan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyerah dengan mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno si kontestasi Pilpres 2019.
Padahal keputusan Prabowo memilih Sandiaga Uno, bukan Komandan Kogasma Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bak tsunami, bukan hanya bagi SBY namun juga kader-kader Demokrat.
Tidak heran jika reaksi Wakil Sekjen Demokrat Andi Arief begitu frontal dengan menyebut Prabowo jenderal kardus dan menuduh PKS dan PAN menerima mahar masing-masing Rp 500 miliar sehingga mau mendukung pasangan Ketua Umum Partai Gerindra dan Wakil Gubernur DKI (saat itu).
SBY dan jajarannya juga harus melakukan beberapa kali rapat sebelum mengambil keputusan. Opsi meninggalkan Prabowo lebih nyaring, meski dukungan untuk merapat ke kubu Joko Widodo-Ma'ruf Amin juga hanya sayup-sayup. Banyak yang kemudian meyakini SBY akan memilih opsi netral seperti halnya pada Pilpres 2014.
Tetapi seperti yang sudah kita ketahui, SBY memutuskan tetap berada di kubu Prabowo. Dalam pidato politik yang mengharukan, AHY mengakui kegagalannya dan meminta maaf karena belum bisa mewujudkan keinginan pendukungnya.
Ya, dengan bergabung ke kubu Prabowo tanpa AHY menjadi cawapres, sekalipun ada janji power sharing manakala kelak Prabowo menang, tentu sebuah kekalahan telak bagi seorang SBY yang pernah dua kali memenangkan pilpres melawan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang berada di kubu Jokowi.
Lalu mengapa SBY akhirnya mau menerima kekalahan itu? Bukankah jauh lebih gagah jika memilih netral dan pastinya akan disambut gempita para pendukungnya yang tengah terluka dengan sikap Prabowo? Terlebih SBY bukan tipe politisi yang mudah tergiur jabatan dan uang dengan cara menggadaikan partai. SBY selalu ingin menjadi king maker dalam setiap keputusan politik yang diikuti.
Ada beberapa kemungkinannya. Pertama, SBY gagal meyakinkan PKB dan PPP untuk bergabung dalam poros alternatif dengan PAN. SBY kehabisan waktu karena baik Prabowo maupun Jokowi memutuskan cawapresnya di menit terakhir.
Kegagalan SBY merupakan buah dari kegamangan Jokowi memutuskan cawapres. Boleh saja pendapat yang mengatakan hal itu bagian dari strategi untuk mengunci lawan, tetapi fakta bahwa Jokowi mengubah keputusannya dari Mahfud MD kepada Mahruf Amin hanya dua jam sebelum diumumkan, menjadi bukti sahih, tak terbantahkan.
Jokowi menyerah ketika PKB dengan dibantu PBNU menekan dan mengancam akan menarik dukungan jika tetap memilih Mahfud- yang saat itu sudah fitting baju untuk deklarasi agar seragam dengan Jokowi.
Dengan berat hati Jokowi pun membatalkan pilihannya pada Mahfud yang sudah menunggu cukup lama di restoran yang lokasinya tidak jauh dari tempat Jokowi dan para pengurus partai pendukung berkumpul. Konon Jokowi sempat meminta maaf ketika mengundang Mahfud ke Istana usai acara deklarasi.