Pertama, adanya kesepakatan antara Prabowo dengan Jokowi. Spekulasi ini paling liar karena hanya didasarkan pada sejumkah pertemuan Prabowo dengan Jokowi maupun orang-orang di sekitarnya termasuk Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani.
Namun dasar argumennya cukup kuat. Prabowo yang selalu mengatakan dirinya siap berkorban demi keutuhan NKRI terketuk ketika diberi paparan kemungkinan yang akan terjadi jika dirinya menggandeng ulama yang direkomendasikan Rizieq Shihab.
Tensi politik akan panas, bahkan bisa overheat. Isu-isu yang mempertentang Islam dan nasionalis bakal tak terkendali. Ketika skupnya hanya DKI Jakarta saja sudah bikin suhu nasional hangat, bagaimana jika terjadi di berbagai daerah secara serentak dan masif?
Atas dasar itu, Prabowo akhirnya sepakat untuk "meninggalkan" PKS, terutama calon yang disodorkan ulama oposisi.
Kemungkinan kedua, Prabowo ingin menunjukkan sebagai jenderal sebenarnya yang tidak bisa ditekan pihak manapun, baik partai maupun kelompok ulama.
Kondisi serupa terjadi ketika Prabowo menunjuk Sudrajat sebagai calon gubernur Jawa Barat. Prabowo mengabaikan suara partai dan juga hasil survei. Terbukti kemudian feeling Prabowo tidak salah. Meski Sudrajat yang berpasangan dengan Ahmad Syaikhu kalah, tetapi perolehan suaranya jauh di atas semua prediksi dan survei.
Ketiga, tidak tercapai titik temu di antara Gerindra, PKS dan Demokrat. PAN sepertinya tidak pernah masuk hitungan Prabowo. Sikap mendua PAN, cukup membuat cape Prabowo. Akhirnya digunakan kompensasi lain baik mahar untuk menggerakkan mesin partai maupun power sharing di kabinet jika kelak menang. Sepertinya hanya Sandiaga yang bisa menyediakan "pelumas" yang dibutuhkan.
Anda pilih yang mana? Atau punya argumen berbeda? Mari berbagi pendapat dan bersuara, sebelum suara kita dipajaki.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H