Elit Partai Demokrat berang dengan keputusan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto memilih Sandiaga Uno sebagai cawapresnya. Meski belum ada pernyataan resmi terkait duet Prabowo dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta tersebut, namun lontaran keras Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat (PD) Andi Arief bisa menjadi penanda jalan undur Partai Demokrat dari "koalisi kardus".
Menurut Andi Arief, keputusan cawapres Prabowo diambil setelah Sandiaga Uno membayar masing-masing Rp 500 miliar kepada PKS dan PAN. Mahar itu mampu meluluhkan kengototan PKS yang sebelumnya menyodorkan sembilan nama cawapres, serta zigzag politik PAN yang dimainkan Amien Rais dan Zulkifli Hasan.
Andi Arief, aktivis yang juga pernah menjadi korban penculikan di penghujung kekuasaan Soeharto, menyebut keputusan Prabowo benar-benar di luar dugaan karena lebih mementingkan uang ketimbang jalan perjuangan yang benar.Â
Demokrat pun menolak kunjungan Prabowo ke kediaman Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dimaksudkan untuk menjelaskan keputusan tersebut. Bahkan Demokrat menolak penjelasan melalui surat. Â Â
"Jenderal kardus," maki politisi asal Lampung ini.
Ejekan Andi Arief kepada Prabowo langsung dibalas Waketum Partai Gerindra Arief Poyuono. Bahkan Poyuono balik menuding SBY sebagai jenderal kardus karena kader partainya banyak yang korupsi. Sementara Wasekjen PKS Abdul Hakim menyebut tuduhan Andi Arief kepada partainya sangat tidak pantas.Â
Politisi yang juga asal Lampung ini, bersikeras menyebut PKS masih memperjuangkan rekomedasi ijtima GNPF Ulama.
Tudingan keras Andi Arief juga bisa membuka "borok" SBY dan mempengaruhi karir politik Komandan Kogasma Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ke depan.
Mengapa demikian? Masih terngiang ketika SBY memperingatkan Ketua Umum PPP Romahurmuziy (Rommy) agar hati-hati mengeluarkan statement. Pasalnya  Rommy menyebut kegagalan Demokrat masuk kubu Jokowi karena SBY memaksakan AHY sebagai cawapres. SBY membantah pernah menyodorkan AHY.Â
Kegagalan Demokrat bergabung ke koalisi Jokowi yang dirajut selama setahun, menurutnya, karena hubungannya dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri belum ditakdirkan normal kembali. Â
Rommmy lantas membalas peringatan SBY dengan penjelasan dirinya mendapat informasi A1 atau terpercaya. Bahkan Rommy meledek SBY dengan ungkapan "kutahu yang kau mau".
SBY mengulang pernyataan jika dirinya tidak pernah menjadikan AHY sebagai alat tawar koalisi ketika berkunjung ke kediaman Prabowo. Bahkan Prabowo ikut menggarisbawahi dengan mengatakan SBY menyerahkan sepenuhnya soal cawapres kepada dirinya. Saat itu SBY mengesankan Demokrat mendukung pencapresan Prabowo tanpa reserve, tanpa muatan apapun. Â
Tetapi publik tidaklah menganggapnya demikian. Kegusaran PKS pasca Demokrat masuk koalisi menengarai adanya perubahan sikap Prabowo terhadap PKS. Prabowo enggan mengambil kader PKS meski sebelumnya sudah ada kontrak politik dan diperkuat dengan hasil itjima GNPF Ulama.Â
Padahal nama Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufri menjadi pilihan tak terelakkan setelah Ustad Abdul Somad kekeuh menolak di-cawapres-kan meski di-endorse PAN dan dibujuk banyak pihak termasuk pengasuh ponpes Az-Zikra KH M. Arifin Ilham.
Kedatangan SBY ke rumah Prabowo tanpa AHY lalu muncul penegasan dirinya tidak mematok cawapres, dianggap sebagai kamuflase belaka dalam rangka memperkuat bantahan terhadap tudingan Rommy. Gestur tubuh SBY lebih "jujur". Keyakinan  adanya "kesepakatan di bawah meja" sulit ditepis.
Kini ketika Andi Arief dan mungkin elit Demokrat lainnya begitu marah mendengar Prabowo memilih Sandiaga Uno, bukan AHY, publik pun tersentak. Namun bukan karena akhirnya mendapat "pembenaran" terhadap dugaan selama ini, melainkan ketidaktepatan cara elit Demokrat menyerang Prabowo. Spontanitas Andi Arief memperlihatkan betapa selama ini Demokrat sangat yakin Prabowo akan menggandeng AHY.
Sikap Andi Arief bisa menjadi bahan tertawaan karena terlalu naif. Mantan calon wakil gubernur Lampung ini seperti politisi kemarin sore yang menganggap kesepakatan lisan dua politisi sebagai kitab suci yang haram diingkari. Padahal Andi Arief memiliki jam terbang lumayan karena penulis mengenalnya secara baik saat masih sama-sama di Lampung.
Kita berharap, tarik-ulur cawapres baik di kubu Prabowo maupun Jokowi yang juga memanas, tidak sampai menimbulkan tsunami politik dan gelontoran ujaran tanpa kendali. Dinamika politik, termasuk di dalamnya pilihan-pilihan yang tersedia, adalah ruang tanpa batas, tanpa ikatan sehingga tidak perlu disikapi secara berlebihan manakala hasilnya tidak sesuai harapan, tidak sesuai kalkulasinya.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H