Aksi Presiden Joko Widodo menyeberangi Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat menggunakan pelican crossing didampingi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sambil mendorong kursi roda ibundanya, membuat keriuhan nitizen terkait perobohan jembatan penyeberangan orang (JPO) di Bundaran Hotel Indonesia berhenti mendadak. Terlebih ketika Jokowi memuji kini di sekitar lokasi tersebut secara estetika lebih cantik.
Ini bukan keriuhan pertama yang terjadi terhadap kebijakan Anies, yang dilantik bersama Wakil Gubernur Sandiaga Uno, Oktober 2017 lalu. Ada beberapa contoh yang bisa disebutkan seperti pembentukan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) yang beranggotakan hingga 70-an orang, penutupan Jalan Jati Baru yang diperuntukan bagi pedagang kaki lima, kenaikkan dana bantuan untuk partai politik, pencabutan pohon di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin, pengadaan pohon plastik, hingga pencopotan sejumlah pejabat eselon II setingkat kepala dinas dan wali kota serta peresmian Lapangan Banteng dan Kali Item.
Pertanyaannya, mengapa kebijakan Anies selalu (dibuat) heboh? Benarkah yang bikin heboh adalah (bekas) pendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang kalah dalm kontestasi Pilgub DKI 2017 dan menolak move on? Ataukah ini bagian dari playing victim dengan tujuan menaikkan elektabilitas Anies?
Dua-duanya ternyata benar. Berita tentang “kesalahan” Anies di media online akan langsung dipenuhi hingga ribuan komentar negatif. Benar, akun-akun tersebut belum tentu milik pendukung Ahok, meski keberadaan mereka tidak bsia dinafikan terlebih setelah terjadi “insiden” di acara peresmian Lapangan Banteng. Yang pasti, akun-akun yang memenuhi kolom komentar dengan ujaran negatif itu haters Anies.
Tetapi ada juga yang disebabkan karena memang murni kesalahan Anies. Artinya, kehebohan bukan dari haters semata tetapi karena ada kesalahan dalam kebijakan yang diambil Anies sehingga yang protes mungkin juga dari warga netral. Jika dipilah, sedikitnya ada tiga hal yang menjadi penyebab terjadinya kehebohan. Mari kita lihat.
Pertama, dalam kasus-kasus seperti dana partai dan pengadaan pohon hias alias pohon palsu, terlihat sekali jika tim Anies "sengaja" membiarkan kehebohan terjadi. Setelah membesar, barulah dikeluarkan fakta yang sebenarnya di mana kedua hal tersebut bukan merupakan kebijakannya.
Kenaikkan dana parpol sudah disetujui sebelum Anies menjadi gubernur. Demikian juga pengadaan pohon plastik. Mereka yang hanya bermodal sentimen langsung termakan "jebakan" hingga menyerang dengan opini tanpa mau melakukan crosscheck.
Kedua, pencopotan sejumlah pejabat eselon II, perobohan JPO Bundaran HI dan alihfungsi Jalan Jati Baru, Tanah Abang, sepenuhnya merupakan kewenangan gubernur.
Drama terjadi karena ada sedikit "penyimpangan" dari ketentuan, tetapi tidak akan sampai fatal meski Ombudsman dan kini Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) meributkan.
Di satu sisi Anies membuat kesalahan terkait Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah yang memang belum cukup pangkat, sehingga dikembalikan, namun terhadap yang lainnya. Dipastikan Anies tidak akan menyerah pada gertakan KASN yang mengancam akan melaporkan ke Mendagri karena pencopotan dan rotasi pejabat merupakan kewenangannya. Soal alasannya, dengan mudah didapat.
Ketiga, kasus Kali Item dan warna-warni marka jalan. Cara yang ditempuh dalam upaya menyelesaian persoalan Kali Item benar-benar murni "kesalahan" Anies yang terlalu terburu-buru karena ingin menutup "borok" Jakarta di mata peserta Asian Games.
Anies terlihat mengambil kebijakan parsial dan pintas ketika menutupnya menggunakan kain waring. Anies pun mengakui hal itu merupakan solusi jangka pendek mengingat pelaksanaan Asian Games sudah dekat.
Tetapi penggunaan kain waring jelas tidak menyelesaikan masalah karena uap bau tidak bisa "disembunyikan" dengan kain. Kedua, bahan yang digunakan sangat mudah robek. Ketiga, secara estetika juga mengganggu pemandangan dan justru memancing keingintahuan peserta Asian Games yang berasal dari berbagai negara di Benua Asia. Meski kini aroma tak sedap sudah jauh berkurang namun bukan karena waring melainkan serbuk deogone dan cairan mikroba yang ditabur di Kali Item usai geger kain waring.
Apa pun penyebabnya, kehebohan yang terjadi tetap "menguntungkan" Anies. Dalam survei-survei calon wakil presiden, nama Anies selalu muncul dengan elektabilitas di kisaran 3 besar. Demikian juga saat dirinya diposisikan sebagai capres, namanya selalu muncul di 5 besar.
Tentu terlalu prematur menyimpulkan kehebohan di Jakarta bagian dari konflik yang diciptakan dengan tujuan menjaga elektabilitas. Tetapi sulit juga dihindari kesan adanya pemanfaatan pendukung Ahok untuk hal-hal demikian.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H