Dukungan "tanpa syarat" Partai Demokrat ke kepada Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto membuat posisi tawar Partai Keadilan Sejahtera (PKS) lemah. Selain memiliki kursi di DPR lebih banyak, Prabowo juga terlihat lebih pede didampingi Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah 2 kali memenangi gelaran pilpres.
Tetapi bukan PKS namanya jika menyerah begitu saja. Kader-kader partai dakwah ini tidak pernah kehilangan cara untuk memenangkan perundingan politik.Â
SBY pun tahu bagaimana "sakitnya" mengendalikan PKS yang menjadi mitra koalisi selama dirinya menjadi presiden. PKS selalu punya alasan yang tepat untuk "membenarkan" sikapnya yang berlawanan dengan kebijakan koalisi.
Sebagai contoh ketika kader-kader PKS di DPR, di era SBY, menolak kenaikkan harga BBM yang sebelumnya sudah diputuskan dalam rapat koalisi. PKS beralasan, saat itu suara PKS tidak lagi mempengaruhi hasil voting. Tanpa PKS, mayoritas anggota DPR sudah menyetujui opsi kenaikkan harga BBM.Â
PKS perlu menolak, meski dilakukan di ujung persidangan dan sudah pasti kubu yang setuju kenaikkan BBM menang, untuk kebutuhan kampanye Pemilu 2014.Â
Dan memang setelah itu, spanduk-spanduk PKS menolak kenaikan harga BBM terpasang di mena-mana. Keinginan SBY tercapai, namun PKS pun mendapat citra positif sebagai partai pro rakyat karena berani menolak kenaikkan harga BBM. Indah, bukan? Â Â
Kini hal serupa tengah "dimainkan" ke Prabowo. PKS tentunya tahu ada kesepakatan "di bawah meja" antara Demokrat dan Gerindra terkait posisi cawapres. SBY tidak mau terang-terangan menjadikan Komandan Kogasma Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai alat tawar koalisi.Â
Hal itu untuk menangkis serangan Ketua Umum PPP Romahurmuziy yang menyebut batalnya Demokrat masuk ke kubu Istana karena SBY mematok AHY sebagai cawapres.Â
SBY juga tidak membawa AHY saat berkunjung ke kediaman Prabowo untuk menghindari kesan dirinya mengarbit AHY sekaligus menjawab sindiran Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, tentang "jadi pemimpin karena bapaknya".
Keinginan Demokrat agar Prabowo didampingi AHY sudah harga mati. Bahkan bisa kembali mengubah peta politik manakala Prabowo mengambil Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufri atau pun Ustad Abdul Somad (UAS).
PKS tahu peluang untuk kadernya sudah nyaris tertutup. Tetapi PKS menginginkan hal lain yang sepertinya masih belum terpenuhi meski sudah "dipertemukan" dengan pengusaha tajir Maher Algadri. PKS ingin segera mendapat kepastian. Terlebih PKS memiliki dua kekuatan yang bisa digunakan untuk menekan Prabowo.
Pertama, kontrak politik yang ditandatangani jauh hari sebelumnya di mana kedua partai sepakat untuk berkoalisi mengusung capres dan cawapres di gelaran Pilpres 2019. Karena Gerindra sudah mengambil posisi capres, maka logikanya PKS mendapat jatah cawapres. Atas dasar itu, PKS sudah menyodorkan 9 nama kadernya untuk dipilih oleh Prabowo. Salah satunya adalah Salim Segaf.
Kedua, hasil ijtima Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama beberapa waktu lalu yang merekomendasikan Salim Segaf dan UAS menjadi cawapres Prabowo. Namun UAS sudah menolak menjadi cawapres karena ingin tetap menjadi suluh di tengah kelam, setetes embun di tengah (padang) Sahara. Dengan demikian calonnya tinggal Salim Segaf.
Karena sudah sesuai skenario, wajar jika sampai Sekjen PKS Mustafa Kamal mengatakan partainya tetap memegang teguh rekomendasi GNPF Ulama. Hal ini juga yang akhirnya membuat hasil itjima ulama dicurigai telah ditunggani kepentingan partai politik, seperti dikatakan Kapitra Ampera- pengacara Ketua Dewan Pembina GNPF Ulama Habib Rizieq Shihab, yang kini menjadi calon anggota legislatif PDI Perjuangan.
Bagaimana akhir drama politik ini? Prabowo tetap akan bersama AHY didukung Gerindra, PKS, dan Demokrat. PKS mendapat dua keuntungan sekaligus. Pertama  citra sebagai partai yang "patuh" terhadap aspirasi ulama dan sudah memperjuangkan sampai menit terakhir, meski gagal. Kedua, PKS bisa menggerakkan mesin partai tanpa mengeluarkan biaya.
Bagaimana dengan PAN? Seperti halnya PKS dengan rekomendasi ulama, sampai saat ini PAN masih "menggunakan" Prabowo sebagai alat tawar dengan Jokowi. Jika akhirnya PAN merapat ke Istana, dipastikan, "jatahnya" tidak lebih kecil dari yang diterima PKB, bahkan Golkar sekali pun!
Hanya politisi teruji yang memiliki kecakapan menggunakan musuh sebagai kekuatan alat tawar terhadap mitranya.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H