Pertama, kontrak politik yang ditandatangani jauh hari sebelumnya di mana kedua partai sepakat untuk berkoalisi mengusung capres dan cawapres di gelaran Pilpres 2019. Karena Gerindra sudah mengambil posisi capres, maka logikanya PKS mendapat jatah cawapres. Atas dasar itu, PKS sudah menyodorkan 9 nama kadernya untuk dipilih oleh Prabowo. Salah satunya adalah Salim Segaf.
Kedua, hasil ijtima Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama beberapa waktu lalu yang merekomendasikan Salim Segaf dan UAS menjadi cawapres Prabowo. Namun UAS sudah menolak menjadi cawapres karena ingin tetap menjadi suluh di tengah kelam, setetes embun di tengah (padang) Sahara. Dengan demikian calonnya tinggal Salim Segaf.
Karena sudah sesuai skenario, wajar jika sampai Sekjen PKS Mustafa Kamal mengatakan partainya tetap memegang teguh rekomendasi GNPF Ulama. Hal ini juga yang akhirnya membuat hasil itjima ulama dicurigai telah ditunggani kepentingan partai politik, seperti dikatakan Kapitra Ampera- pengacara Ketua Dewan Pembina GNPF Ulama Habib Rizieq Shihab, yang kini menjadi calon anggota legislatif PDI Perjuangan.
Bagaimana akhir drama politik ini? Prabowo tetap akan bersama AHY didukung Gerindra, PKS, dan Demokrat. PKS mendapat dua keuntungan sekaligus. Pertama  citra sebagai partai yang "patuh" terhadap aspirasi ulama dan sudah memperjuangkan sampai menit terakhir, meski gagal. Kedua, PKS bisa menggerakkan mesin partai tanpa mengeluarkan biaya.
Bagaimana dengan PAN? Seperti halnya PKS dengan rekomendasi ulama, sampai saat ini PAN masih "menggunakan" Prabowo sebagai alat tawar dengan Jokowi. Jika akhirnya PAN merapat ke Istana, dipastikan, "jatahnya" tidak lebih kecil dari yang diterima PKB, bahkan Golkar sekali pun!
Hanya politisi teruji yang memiliki kecakapan menggunakan musuh sebagai kekuatan alat tawar terhadap mitranya.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H