Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Jokowi dan Prabowo Terjebak Koalisi Maksa dan Terpaksa

27 Juli 2018   08:23 Diperbarui: 28 Juli 2018   21:03 1396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi bertemu Prabowo di Istana. Foto: kontan.co.id

Andai saja ada satu dari sembilan calon yang disodorkan PKS, sama dengan yang disodorkan PAN, mungkin situasinya agak berbeda. Sayangnya hal itu tidak terjadi. Irisannya ada pada Anies Baswedan, dengan catatan sebagai capres, bukan cawapres.

Prabowo membutuhkan ketegasan Demokrat, juga PAN, jika ingin mengambil cawapres di luar nama yang disodorkan PKS. Meski mungkin saja PKS mau menerima karena tidak ada opsi bergabung ke kubu Istana, tetapi biaya untuk menggerakkan mesin partainya tentu tidak sedikit. 

Sementara penggalangan dana melalui akun @GalangPerjuangan di aplikasi Telegram yang sudah diluncurkan sejak 21 Juni 2018 belum sesuai harapan karena rerata dana yang masuk perhari hanya Rp 39,9 juta sehingga sampai masuk masa kampanye hanya akan terkumpul maksimal Rp 10 miliar, kecuali tiba-tiba ada pasukan donatur siluman.

Tentu kita juga tidak menutup kemungkinan Prabowo sudah menyiapkan dana pribadi dan penggalang itu hanya bagian dari strategi untuk mengukur "kehendak" publik.

Apa pun dalihnya, situasi saat ini sangat mungkin tidak terjadi manakala Prabowo masih "sekuat" lima tahun lalu. Saat itu partai koalisi tidak ada yang berani memaksakan cawapres. Terpilihnya Hatta Rajasa yang saat itu Ketua Umum PAN, nyaris tanpa reserve baik dari PKS, PPP maupun Golkar dan PBB. Sedangkan sekarang, Persaudaraan Alumni (PA) yang notabene bukan partai saja ikut-ikutan "mengatur"!

Jika akhirnya Prabowo memilih cawapres dalam kondisi terpaksa atau dipaksa, kemungkinan ada partai yang hengkang ke Istana, atau setidaknya mengambil posisi netral.

Dari uraian di atas, jelaslah menentukan cawapres jauh-jauh hari lebih menguntungkan dibanding ketika sudah di menit-menit akhir. Jika saja sebelumnya Jokowi sudah mematok satu nama dan disosialisasikan terhadap calon partai pendukung, maka negosisasi tinggal pada posisi menteri. Demikian juga andai Prabowo sudah memasang satu nama sebagai cawapres sebelum melakukan lobi-lobi, tentu tidak sampai merasa cape.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun