Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) membuat manuver mengejutkan di menit-menit terakhir sebelum dibukanya pendaftaran bagi bakal calon pasangan presiden dan wakil presiden. Jika berhasil, konstelasi politik, terutama di kubu Istana, bisa berubah dratis.
Seperti diketahui, saat ini Partai Perindo sedang menggugat atau uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal 169 huruf (n) UU No 7/2017 tentang Pemilu yang selengkapnya berbunyi "Belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama".
Oleh sebagian kalangan memang dianggap multitafsir. Perindo menganggap kehadiran pasal tersebut menghalangi keinginannya mengajukan JK sebagai cawapres Joko Widodo di Pilpres 2019.
Awalnya JK terlihat tidak terlalu menanggapi gugatan Perindo. Demikian juga ketika PDIP "merayu" untuk kembali berduet dengan Jokowi. Menurut  Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, pengalaman JK dan keberhasilan duet dengan Jokowi selama 4 tahun terakhir menjadi pertimbangan utama PDIP. Hal senada disampikan Ketua DPP PDIP non aktif Puan Maharani.
Terhadap wacana itu JK sempat menolak. "Saya ingin istirahat," ujar JK. Â
Tetapi belakangan, JK seperti berubah pikiran. Secara mendadak JK mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam gugatan syarat cawapres di MK. Menurut juru bicaranya, Husein Abdullah, sejak awal JK konsisten ingin istirahat dan tidak ingin melanggar aturan. Tapi kalau untuk kepentingan bangsa dan aturan memungkinkan, JK akan mengesampingkan kepentingan pribadinya.
Bagaimana perubahan peta politik yang ditimbulkan jika MK mengabulkan gugatan Partai Perindo sebelum 10 Agustus 2018, batas akhir pendafataran bakal calon pasangan presiden dan calon wakil presiden seperti diminta JK?
Pertama, akan menjadi tsunami politik bagi nama-nama cawapres yang selama beberapa bulan terakhir menghiasi berbagai media. Sebab JK sudah memastikan tidak akan maju sebagai kandidat calon presiden menantang Jokowi, meski ada partai yang berseda mengusungnya seperti Demokrat. Alasannya, kebijakan pemerintah dalam 4 tahun terakhir merupakan keputusan bersama dirinya dengan Presiden Jokowi. Dengan kata lain, jika menantang Jokowi, JK tidak mungkin mengkritisi kebijakan pemerintah yang menjadi sorotan publik karena hal itu sama saja dengan mengkritik kebijakannya sendiri.
Dengan demikian JK memang hanya ingin menjadi cawapres. Hal itu tentu menjadi "ancaman" serius bagi Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko, Gubernur Nusa Tenggara Barat M. Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB), Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto hingga Komandan Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. Bahkan wacana PDIP menduetkan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai pendamping Jokowi juga bisa langsung lenyap.
Bagi PDIP, mengusung duet Jokowi-JK lebih aman dari semua sisi, terutama jika dikaitkan dengan Pilpres 2024 di mana kemungkinan JK tidak akan nyapres karena faktor usia. Berbeda halnya jika Jokowi mengambil cawapres AHY atau Muhaimin. Bagi PDIP, hal itu sama saja dengan membesarkan "anak macan".
Kedua, kemungkinan Jokowi -- JK menghadapi kotak kosang sangat besar. Sulit menemukan pasangan yang dapat mengalahkan duet ini karena memang mewakili banyak kepentingan dan suara, meski bukan tanpa kelemahan. Bahkan duet Prabowo -- Gatot Nurmantyo atau Anies Baswedan, tidak cukup kuat menghadapi pasangan kombinasi nasionalis -- NU ini.