Sebenarnya, jika definisi terorisme tidak memuat ketentuan "kekerasan dan ancaman kekerasam" namun cukup ada niat untuk mengubah bentuk negara, polisi tidak perlu meminta dukungan TNI. Sebab polisi bisa bertindak sebelum muncul potensi kekerasan yang dalam beberapa kasus menggunakan bom. Polisi tidak perlu mencari bom sebagai alat bukti tindak terorisme, tetapi cukup "notulen" rapat yang menyepakati untuk mengubah bentuk NKRI.
Pertanyaannya kemudian, apakah ijtimak ulama bisa dijadikan dasar polisi dalam menindak terorisme? Tentu tidak, karena keputusan ulama tidak termasuk dalam hierarki perundangan-undangan atau hukum positif yang diakui negara.
Presiden Jokowi pernah memanggil Kapolri terkait beberapa Kapolres yang menggunakan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai dasar kebijakan. Ijtimak ulama cukup dijadikan sebagai petunjuk atau keterangan ahli dalam proses penyidikan.
Tetapi jika semua pihak sepakat polisi bisa melakukan penangkapan terhadap terduga terorisme dari hasil rapat, maka perlu dibentuk badan pengawas yang kuat agar kewenangan istimewa yang dimiliki tidak disalahgunakan.
Polisi juga harus menjamin hak-hak konstitusional lainnya, termasuk batasan yang tegas menyangkut penahanan tanpa pemberitahuan terhadap keluarga atau pengacaranya. Sebab penahanan dengan jangka waktu berbulan-bulan tanpa proses hukum dan tanpa pemberitahuan kepada keluarga atau pengacaranya adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, sekalipun terhadap terduga terorisme.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H