Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Alif dan Kisah Ayam Kecap yang Tak Lazim

28 Mei 2018   14:58 Diperbarui: 28 Mei 2018   23:06 4011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah derasnya gugatan gaji fantastis Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), publik dikejutkan dengan kisah tak lazim di  media sosial. Adalah Alif alias Alip yang menjungkirkan logika umum. Mimpinya tentang ayam kecap dan susu kotak menohok kesadaran nitizen justru karena ia tidak minta dikasihani. Tawa cerianyalah yang menjebol bendungan air mata ribuan nitizen.

Eksploitasi kemiskinan maupun ketidakberuntungan lainnya dengan tujuan agar masyarakat trenyuh dan tergerak hatinya untuk membantu sudah sangat biasa.

Terlalu banyak pula kisah "sukses" warga yang semula dirundung kesusahan mendadak berganti nasib menjadi kaya raya hanya dalam sekejap setelah kisah sedihnya diviralkan dan donasi mengalir dari berbagai penjuru. Tidak ada yang salah dan kita wajib menaruh hormat yang setinggi-tinggi kepada para penggiat sosial tersebut.

Tetapi harus diakui karena ada satu dua orang yang menyalahgunakan simpati warga dengan membuat cerita yang "menyimpang" atau menggunakan uang hasil donasi bukan untuk tujuan semula, nitizen menjadi sangat selektif memberikan bantuan.

Akibatnya banyak dari mereka yang sebenarnya sangat membutuhkan uluran tangan tidak mendapat simpati yang cukup. Contohnya bisa kita lihat di laman kitabisa.com

Lalu muncullah sosok Alif. Meski tetap "bergenre" kemiskinan, tetapi bocah 5 tahun ini "membawakannya" dengan cara berbeda. Kepiawaian si penutur -- bukan translator,  yang kemudian mengunggahnya di aplikasi percakapan berbasis internet, juga harus diacungi jempol.

Kepolosan bahasa anak masih sangat kental meski kita paham tentu ada beberapa kata yang dihilangkan atau ditambahkan agar enak dibaca layaknya percakapan yang mengalir.  

Dari "percakapan" dan narasi penutur, perasaan pembacanya benar-benar dicabik-cabik.  Alif yang sudah yatim piatu dan kini diasuh oleh neneknya, seperti sadar diri sehingga tidak menuntut apa-apa. Alif tetap ceria meski  makan sahur hanya dengan garam.

Alif juga tetap ceria meski keinginannya bisa makan ayam kecap dan minum susu kotak, sulit terwujud. Neneknya hanya "bekerja" sebagai pengantar jemput sekolah anak tetangga dengan sarana KRL. Di KRL itu juga si penutur bertemu Alif dan neneknya yang tinggal di rumah tumpangan di daerah Tanah Gocap, Tangerang, Banten.

Screenshot
Screenshot
Keceriaan Alif berbuah simpati luar biasa. Framing kisahnya di media online menambah banyak nitizen yang tertohok dan berbondong-bondong "membelikan" ayam kecap dan susu kotak.

Dalam sekejap, donasi yang terkumpul di kitabisa.com mencapai puluhan juta rupiah. Banyak juga warga yang langsung datang ke "gubuknya" dengan  membawa ayam kecap dan susu kotak, juga beras.

"Ada yang bawa susu, bawa jajanan, bawa ayam kecap. Oh iya, berasnya sekarung, banyak banget," kata Alif.

Kisah Alif juga telah membuka mata kita, masih banyak warga bangsa yang peduli dengan tetangganya, dengan saudara-saudaranya yang mungkin tidak pernah ditemuinya.

Bagi para penggiat sosial, kisah Alif juga bisa dijadikan contoh. Tidak perlu wajah murung berbaju dekil, tidak perlu gambar tetesan air mata, untuk mengajak dan menggugah kesadaran anak-anak bangsa agar mau berbagi, meringankan penderitaan orang lain.

Kejujuran adalah kuncinya. Jika Alif "ditampilkan" dengan baju dekil dan wajah murung khas pengemis anak di perempatan jalan, mungkin keinginannya untuk makan ayam kecap dan minum susu kotak, justru tidak bisa segera terwujud.

Kita berharap tidak ada Alif -- Alif lain. Pemerintah daerah harus lebih peka terhadap kondisi rakyatnya dengan membuat kebijakan yang benar-benar tepat sasaran. Jangan "memelihara" kantong-kantong kemiskinan di daerahnya demi mengejar dana pusat.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun