Jika dia berbicara hak, maka ada hak orang-orang yang jumlahnya lebih banyak yang juga harus dihormati. Ini bukan tentang tirani mayoritas, tetapi hak orang perorang. Demokrasi yang kita anut menggunakan jumlah individu sebagai penentu dan alas kebijakan. Itu sebabnya kebijakan pada hal yang sama bisa berbeda antara di Papua dengan Aceh sebagai wujud demokrasi dan otonomi daerah.
Jika menurut dia toleransi adalah hak, bukan kewajiban yang berimplikasi hukuman kala dilanggar, maka silakan dicoba jalan-jalan di kota di Bali sambil merokok saat perayaan Nyepi. Karena hak, maka mestinya Anda tidak dihukum baik secara moral, adat, apalagi negara.
Toleransi bukan hanya di ranah politik, tapi di semua sendi kehidupan. Jangan teriak paling kencang sambil mengusung Pancasila kala menuntut hak politik, tetapi menyembunyikan Pancasila kala diminta memberikan kewajibannya pada sisi lain. Sekali lagi ingat, ada kewajiban sebagai warga bangsa untuk menghormati agama dan ibadah orang lain. Alangkah naif ketika kita menghujat, mengutuk perbuatan orang-orang yang menyerang agama orang lain sambil kita mengolok-olok keimanan umat agama lain.
Sebagai penegas, yakinlah, seluruh umat Islam akan sepakat melihat makanan dan orang makan-minum tidak akan membuat ngiler dan membatalkan puasanya. Bukankah iklan makanan dan minuman segar di TV muncul saban waktu dan langsung masuk ke ruang-ruang privat tetapi umat Islam tetap saja berpuasa? Pemberian tirai di warung makan yang buka di bulan puasa, tidak ada kaitannya dengan keimanan umat Islam. Hentikan cara berpikir demikian. Jangan menggunakan agama sebagai bahan olok-olokkan, apalagi kampanye kebencian terselubung.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H