Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Disinyalir Pilih Moeldoko, Jokowi Isyaratkan Strategi Keras

23 Mei 2018   08:35 Diperbarui: 23 Mei 2018   20:42 4176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi menyalami Moeldoko usai dilantik menjadi Kepala KSP. Foto: Biro Pers Istana

Calon pendamping Presiden Joko Widodo di Pilpres 2019 tampaknya sudah diputuskan sejak beberapa waktu lalu. Sepak terjang Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko seperti mengisyaratkan adanya peran lebih yang dimandatkan oleh Jokowi. Strategi keras yang "dimainkan" Jokowi akhirnya memaksa Prabowo Subianto menerima skenario koalisi yang disodorkan Susilo Bambang Yudhoyono.

Kedekatan Moeldoko dengan Jokowi mencuat ke publik di tengah acara pernikahan Kahiyang Ayu dengan Mohammad Bobby Afif Nasution, akhir tahun lalu. Saat itu Moeldoko didapuk mewakili Jokowi menyampaikan sambutan di resepsi malam pernikahan. Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Hanura ini mengaku diberitahu untuk tugas itu dari Mensesneg Pratikno.

Usai mantu, Presiden Jokowi melakukan reshuffle kabinet. Moeldoko pun masuk ke Istana menggantikan Teten Masduki. Nama mantan Panglima TNI yang diangkat SBY ini pun langsung meroket.

Berbeda dengan Teten yang terkesan hanya menjadi jangkar antara Presiden dengan tokoh-tokoh di luar kabinet, Moeldoko sebagaimana Luhut Binsar Panjaitan --Kepala KSP pertama dan kini Menko Kemaritiman, benar-benar menjadikan KSP sebagai palang pintu Presiden Jokowi dan pengendali pelaksanaan tiga kegiatan strategis yaitu pelaksanaan program-program prioritas nasional, aktivitas terkait komunikasi politik kepresidenan, dan pengelolaan isu strategis sesuai amanat Perpres Nomor 26 Tahun 2015 yang menjadi payung hukum KSP.

Meski tidak bisa disebut overlapping, beberapa kali Moeldoko tampak "mengambil alih" peran Juru Bicara Presiden Johan Budi. Moeldoko bukan hanya menyampaikan ucapan dan sikap Presiden terkait sebuah masalah, namun juga "pasang badan".

Hal ini terlihat saat menanggapi setahun kasus teror terhadap penyidik senior Novel Baswedan di tengah desakan perlunya pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) untuk membantu mengungkap pelaku dan "jenderal" di balik teror keji tersebut.

Meski mengaku belum tahu sikap Presiden terhadap tuntutan pembentukan TGPF, namun Moeldoko menjamin komitmen Presiden Jokowi untuk menuntaskan kasus Novel tidak berubah.

Moeldoko pun sangat berapi-api ketika membela program Jokowi di acara Mata Najwa. Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia ini bahkan sampai berdiri sambil menjelaskan capaian Presiden Jokowi dari mulai pembangunan jalan tol, kenaikan kuota haji, hingga reformasi agraria. Sayangnya, respons mahasiswa yang menjadi audiens Mata Najwa bertajuk "Kartu Kuning Jokowi" itu, kurang meyakinkan.

Kini Moeldoko juga berdiri paling depan kala membela pembentukan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab). Moeldoko adalah orang pertama yang menyebut Presiden Jokowi sudah menyetujui keberadaan Koopssusgab yang diusulkan Panglima TNI Jenderal Hadi Tjahjanto.

Padahal saat itu belum ada informasi dari Mabes TNI soal rencana pembentukan Koopssusgab. Bahkan Mabes TNI sudah mengirim anggota Kopassus untuk membantu Densus 88 Antiteror memburu para teroris.

Sejak saat itu pula Moeldoko sangat gencar membela keberadaan pasukan super elit yang anggotanya diambil dari kesatuan elit semua matra di tubuh TNI termasuk Kopassus (AD), ditambah Kopaska (AL) dan Paskhas (AU). Moeldoko pun menyemprot pihak-pihak yang menentang keberadaan pasukan TNI yang bisa langsung menangkap terduga teroris tersebut.

Faktor kedekatan serta keleluasaan dalam Moeldoko menyampaikan sikap dan kebijakan Presiden, tak pelak menimbulkan tanda tanya, mungkinkah Jokowi sudah memilih Moeldoko sebagai cawapres dalam rangka mempertahankan kekuasaannya secara demokratis melalui gelaran Pilpres 2019?

Tetapi sejumlah kalangan menyebut Jokowi sudah mengantongi calon wapresnya untuk masa jabatan kedua. Saat ini tidak ada nama yang lebih dekat dengan Presiden selain Moeldoko sehingga keberadaan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, maupun Ketua Umum PPP Romahurmuziy seperti sudah menjadi masa lalu dalam konteks cawapres Jokowi.

Jika benar memilih Moeldoko, maka ini isyarat Jokowi akan membersihkan jalan menuju periode kedua kekuasaannya dengan pendekatan "keras'. Penangkapan terhadap warga bangsa yang berbeda pendapat dalam menyikapi suatu peristiwa, bisa lebih semarak. Atas nama keamanan nasional, wilayah sipil akan dianggap sebagai medan tempur. 

TNI kembali aktif mengawasi setiap gerak warga bangsa sebagaimana di masa Orde Baru dan bila perlu meringkusnya dengan payung UU Antiterorisme yang tengah direvisi dan kemungkinan disahkan dalam minggu ini. Jokowi benar-benar memenuhi keinginan sebagian warga bangsa yang mengelu-elukan rezim Orde Baru, termasuk kelompok yang kemarin mendukung pemutaran kembali film Pengkhianatan G30S/PKI.

Bagaimana kubu lawan merespon langkah Jokowi? SBY sepertinya juga membaca ke arah itu. Pendekatan intensif ke kubu Prabowo menjadi penanda perubahan sikap SBY yang dulu sempat menolak tawaran untuk membangun aliansi Cikeas-Hambalang.

Jika melihat pernyataan Fadli Zon, maka jelaslah koalisi Demokrat-Gerindra sudah disepakati. Pembicaraan bukan lagi siapa yang akan menjadi capres-cawapres, namun pembagian kekuasaan usai pilpres. Itu sebabnya mengapa PKS tidak lagi meminta posisi cawapres kepada Prabowo, melainkan ke SBY.

Siapa capres yang disepakati SBY dan Prabowo? Masih ada di kantong kedua mantan jenderal tersebut. Tetapi jika melihat kepentingan keduanya, hanya Gatot Nurmantyo yang memenuhi syarat.

Mantan Panglima TNI ini akan diterima pendukung Prabowo dan tiga partai lain yang akan bergabung yakni PKS, PAN dan PKB. Meski cawapresnya masih opsional, bisa dipastikan bukan kader PKS. Pilihannya tinggal Agus Harimurti Yudhoyono, Muhaimin Iskandar, dan Anies Baswedan.

Nama Gubernur DKI ini paling potensial dijadikan pemecah kebuntuan jika masing-masing partai, terutama PKS dan PKB tetap ngotot mieminta posisi cawapres.

Pertarungan Jokowi -- Moeldoko melawan Gatot -- Muhaimin Iskandar / Anies Baswedan akan menjadi pesta demokrasi yang menggairahkan karena benar-benar mempertemukan kubu nasionalis versus agama, dengan beberapa catatan.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun