Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Reformasi Jilid Kedua, Mungkinkah?

22 Mei 2018   07:37 Diperbarui: 22 Mei 2018   10:27 2871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR. Foto: KOMPAS.com/EddyHasby

Namun, cukupkah alasan-alasaan di atas untuk menyesali terjadinya gerakan reformasi sehingga harus dilakukan kontra-reformasi seperti kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen dan melegalkan peran TNI di ranah sipil?

Jika didasarkan pada capaian selama ini, mestinya tidak. "Kerusakan" yang terjadi belum sebanding dengan kemajuan yang sudah ditorehkan orde reformasi. Desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah, pengurangan kekuasaan lembaga kepresidenan (eksekutif) dibarengi dengan penguatan lembaga lain seperti DPR, kebebasan berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapat di muka umum, serta keterbukaan informasi publik adalah hal-hal yang tidak ada sebelum reformasi.

Tetapi harus diakui, saat ini bayang-bayang krisis moneter, sikap "represif" aparat penegak hukum (pemerintah?) dalam menangani perbedaan pendapat di masyarakat, ketidakadilan ekonomi yang ditandai masih lebarnya jurang ketimpangan dan penegakan hukum yang dirasa oleh sebagian kalangan belum mencerminkan persamaan perlakuan bagi seluruh warga bangsa tanpa memandang "warna" di belakangannya, dapat mengubur capaian reformasi.

Jika kondisi di atas tidak segera dibenahi, maka akan mengkristal menjadi kekecewaan secara luas dan dijadikan pengikat isu menuju reformasi jilid kedua.

Mari kita asumsikan reformasi jilid kedua akan terjadi. Lalu kapan waktunya? Dipastikan tidak terjadi di tahun ini. Sebab prasyarat yang diperlukan belum terbentuk. Belum tampak ada "koor" dari kesatuan-kesatuan mahasiswa terkait isu-isu favorit. 

Pencabutan subsidi, lonjakan harga barang, jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, serta tumpukan utang negara masih kalah oleh isu SARA dan terorisme di kalangan mahasiswa sendiri. Demo terbesar mahasiswa dalam kurun waktu empat tahun terakhir hanya terjadi saat peringatan tiga tahun kekuasaan Presiden Jokowi.  

Padahal untuk menyemai gerakan mahasiswa dalam skala nasional dengan isu tunggal, membutuhkan waktu lama. Butuh setidaknya 2-3 tahun untuk meyakinkan dan menyatukan komponen mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi agar mau meninggalkan bangku kuliah dan turun ke jalan.

Satu hal lagi, gerakan 1998 tidak bisa dilepas dengan peristiwa sebelumnya seperti penyerbuan preman berseragam ke kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat tanggal 27 Juli 1996. Juga pematangan isu di luar kampus yang dilakukan tokoh-tokoh seperti Amien Rais, Sri Bintang Pamungkas, Gus Dur, dan tentu saja, Megawati Soekarnoputri. Mereka yang tidak merasakan getirnya rezim Soeharto, tidak bisa mengukur kehebatan tokoh- tokoh itu. 

Bahwa kini Amien Rais, Sri Bintang dan Megawati berseberangan, adalah hal alamiah dalam suatu pergerakan. Bukankah Che Guevara akhirnya berselisih jalan dengan Fidel Castro setelah berhasil menumbangkan diktator Jenderal Fulgencio Batista? Bukankah Chiang Kai-shek akhirnya terlibat perang dengan kaum komunis China di bawah Mao Zedong setelah mereka berhasil menggulingkan kekaisaran Tiongkok yang sudah berumur ribuan tahun?

Perselisihan jalan yang akhirnya dipilih setelah bahu-membahu meruntuhkan musuh bersama, tidak bisa mengurangi kebesaran dan jasa mereka dalam perjuangan sebelumnya. Kita tidak bisa menghilangkan jasa Amien Rais dalam menegakkan tiang reformasi, sekali pun saat ini sebagian dari kita berselisih pendapat terkait banyak hal.

Namun"jasa" yang dimiliki Amien Rais dan teman-temannya bukan tiket abadi untuk semua zaman. "Fatwa" Amien Rais dan Sri Bintang tidak mengikat generasi zaman ini. Seruan-seruan keduanya, tidak lagi menjadi bahan diskusi di dalam kampus seperti era 90-an. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun