Kedua, rawan ditunggangi kepentingan politik. Pengertian "komitmen kebangsaan yang tinggi" bisa dipelintir sebagai dukungan terhadap pemerintah. Saat ini saja, penceramah yang kerap menyerang kebijakan pemerimtah dianggap "musuh bangsa" oleh sebagian kalangan.Â
Sebagai contoh, bagaimana sikap Kemenag terhadap penceramah yang mengulas soal politik di masjid yang sebelumnya telah "dilarang" oleh Presiden Jokowi namun diperbolehkan oleh Majelis Ulama Indonesia? Akankah ustad model ini dianggap tidak memenuhi kriteria "memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi"?
Ketiga, mendistorsi peran tokoh agama yang selama ini menjadi panutan dan bahkan guru ngaji para calon mubalig. Bukankah belum tentu penceramah yang sudah selesai berguru kepada kyai khos dan sudah "dibaiat" sebagai ustad, otomatis lolos verifikasi di Kemenag? Misalnya karena dia belajar nonformil dan gurunya tidak memiliki lembaga formil sehingga tidak bisa mengeluarkan "ijazah" kepada santrinya untuk memenuhi syarat "kompetensi". Hal-hal seperti ini juga harus dipikirkan dengan baik agar kelak tidak menimbulkan masalah.
Dan jika tetap akan dipaksakan, Kemenag harus lebih dulu steril dari kepentingan agama terkait mazhab individu yang menangani urusan tersebut, dan juga politik praktis. Jangan sampai ustad yang lolos verifikasi mayoritas "berkiblat" ke partainya Menteri Agama atau partai penguasa. Lebih parah lagi jika hanya penceramah dari mazhab tertentu yang diloloskan.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H