Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menyebut Presiden Joko Widodo sudah merestui pembentukkan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) Â TNI. Tugas utama Koopsusgab saat ini adalah memburu teroris bersama Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror. Jika kelak revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme disahkan, Koopsusgab diperbolehkan melakukan operasi penangkapan terhadap terduga teroris.
Apa beda Koopsusgab dengan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) di masa Orde Baru? Pertanyaan itu sontak mengemuka karena Moeldoko menyebut revisi UU Nomor 15/2003 atau UU Antiterorisme memuat kewenangan di mana Koopsusgab boleh melakukan penangkapan secara langsung terhadap terduga teroris.
"Kalau sudah ada indikasi, kepolisian juga sudah mendeteksi dia melakukan kegiatan menyiapkan bom dan seterusnya, ya tangkap saja langsung, enggak apa-apa," kata Moeldoko.
Kembalinya TNI ke ranah sipil memang sudah diinginkan banyak pihak sejak lama. Aksi terorisme menjadi alasan utama. Tidak heran jika di tengah rentetan aksi terorisme yang dimulai dengan kerusuhan di Mako Brimob Kelapa Dua Depok hingga berlanjut dengan rangkaian bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya serta penyerangan markas kepolisian di  Surabaya dan Riau, desakan pelibatan prajurit TNI dalam pemberantasan terorisme mengemuka. Sejumlah pihak tampak tidak sabar dengan proses revisi UU Antiterorisme di DPR. Bahkan Presiden Jokowi, sempat mengancam akan menerbitkan Perppu. Â
Di tengah pro-kontra revisi UU Antiterorisme, tiba-tiba Panglima TNI berinisiatif  membentuk Koopsusgab yang anggotanya berasal dari pasukan elit TNI seperti Kopassus (AD) Kopaska (AL) dan Paskhas (AU). Kita mengapresiasi langkah Panglima. Namun demikian keberadaan Koopsusgab perlu lebih diperjelas. Ada beberapa alasannya.
Pertama, jangan sampai Koopsusgab menjadi Kuda Troya bagi TNI untuk kembali ke wilayah sipil seperti di masa Orde Baru. Para penggiat hak-hak sipil harus benar-benar mencermati sejauh mana wilayah operasinya, apakah masih di bawah kendali operasi (BKO) kepolisian atau dapat melakukan operasi sendiri.
Jika Koopsusgab memiliki kewenangan melakukan operasi terpisah dari kepolisian, lantas siapa yang mengawasi? Terlebih Koopsusgab bertangungjawab kepada Panglima TNI sehingga sedikit berbeda dengan Kopkamtib yang bertanggungjawab kepada Presiden. Namun perbedaan ini justru lebih menyulitkan bagi kelompok sipil untuk mendapat akses informasi terkait kegiatan operasi yang kelak dilakukan Koopsusgab. TNI bisa berdalih operasi tersebut untuk kepentingan militer sehingga menjadi rahasia negara.
Kedua, menyangkut definisi terorisme  Kepolisian yang sebelumnya meminta agar UU Antiterorisme bersifat pro aktif, tidak lagi responsif seperti sebelumnya, sempat menolak definisi terorisme yang diusulkan pemerintah. Namun sekarang, menurut Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto, pihaknya sudah menyetujui definisi terosrisme dengan catatan keinginan kepolisian agar mereka yang diduga teroris bisa ditangkap dan ditahan untuk waktu lama- bukan hanya 7 hari seperti yang diperbolehkan dalam UU sebelumya, meski belum melakukan tindak pidana terorisme di Indonesia, diakomodir walau  hanya di dalam penjelasan.
Padahal definisi yang menurut Ketua Panja RUU Terorisme dari Pemerintah Enny Nurbaningsih sudah disepakati pemerintah dan DPR, sangat multitafsir yakni "Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional"
Definisi terorisme menjadi sangat luas karena banyaknya kepentingan. Ada yang ingin menjadikan isu terorisme sebagai ajang untuk mendiskreditkan kelompok yang berideologi selain Pancasila, ada pula yang ingin mencegah agar UU tersebut tidak dijadikan alat-pukul negara terhadap warga bangsa yang berbeda pandangan dengan kebijakan pemerintah.
Definisi yang multitafsir sangat berbahaya jika digunakan oleh militer yang didoktrin untuk membunuh atau dibunuh. Sulit mengharapkan ada dialog, apalagi penghargaan terhadap supremasi sipil sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomopr 34 Tahun 2004 tentang TNI. Â
Ketiga, batas waktu. Sampai kapan pasukan Koopsusgab berada di ranah sipil? Logikanya, dengan diterjunkannya pasukan elit, pemberantasan teroris dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Jika kemudian tidak ada batasan waktu, hal ini sama saja dengan membukakan pintu bagi kembalinya tentara ke wilayah sipil.
Semoga saja Koopsusgab memiliki batasan waktu sehingga tidak mencederai semangat reformasi di mana salah satunya adalah menciptakan tentara profesional yang tidak lagi mencampuri wilayah sipil, apalagi politik.
Salam @ybÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H