Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Hindari Kaitan Ideologi, Definisi "Terorisme" Justru Multitafsir

14 Mei 2018   21:02 Diperbarui: 16 Mei 2018   18:32 3484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada 3 poin krusial dalam draf revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Salah satunya adalah definisi terorisme itu sendiri.

Upaya untuk menghindari kaitan dengan ideologi atau agama tertentu justru melebar tanpa batasan. Terorisme dilokalisasi menjadi tindak kriminal biasa sehingga cukup berbahaya karena seruan perang antarkampung dapat ditafsirkan sebagai tindak terorisme!

Mari kita tengok kembali tiga pasal krusial tersebut. Pertama terkait kewenangan aparat keamanan untuk menangkap dan menahan orang-orang yang masuk dalam lingkup jaringan terorisme meski yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana terorisme.

Penahanan atau pengasingan terhadap mereka diperbolehkan hingga berbulan-bulan tanpa proses peradilan. Ketentuan ini ada di pasal 43A draf revisi UU Antiterorisme yang kemudian dikenal sebagai pasal Guantanamo --merujuk pada penjara milik Amerika Serikat di wilayah Kuba yang digunakan sebagai tempat penahanan para terduga teroris.

Meski bunyi pasal ini dihapus dan dipecah menjadi tiga bagian yakni kesiapsiagaan, deradikalisasi, kontra-radikalisasi, hingga kini belum jelas berapa lama waktu yang diperbolehkan oleh UU Antiterorisme hasil revisi, bagi aparat penegak hukum untuk menahan seseorang yang dianggap terlibat dalam jaringan teroris meski yang bersangkutan tidak atau belum melakukan aksi.

Pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang secara implisit menyebut 7 hari penahanan seperti yang diperbolehkan dalam UU 15/2003 terlalu sempit sehingga minta pengesahan segera UU hasil revisi, menyiratkan adanya penambahan waktu yang diperbolehkan untuk melakukan penangkapan dan penahanan di atas 7 hari.

Kedua terkait pelibatan TNI. Panglima TNI Jenderal Hadi Tjahjanto sempat mengirim surat ke DPR yang meminta agar namanya diubah menjadi UU Penanggulangan Aksi Terorisme. Dengan hilangnya frasa "tindak pidana" maka TNI bisa terlibat karena tidak lagi terkait dengan tindak pidana umum yang menjadi domainnya kepolisian. Dalam perkembangannya nama UU Antiterorisme tetap sesuai aslinya dan pelibatan TNI diatur di dalam pasal 43H. Namun demikian tetap dilapis dengan Peraturan Presiden karena pengerahan pasukan selain perang harus melalui keputusan politik negara.

Dan terakhir terkait definisi terorisme. Apa itu terorisme dan siapa saja yang bisa dikategorikan teroris?

Jika terorisme disebur sebagai kejahatan trans-internasional, maka seluruh kejahatan yang berafiliasi kekuatan di luar negeri bisa dikategorikan sebagai terorisme, termasuk para penyelundup narkotika dan kejahatan cyber lintas negara.

Jika hanya dimaksudkan sebagai kegiatan untuk mengubah dasar negara, maka organisasi yang menganut ideologi selain Pancasila bisa diseret dalam kategori teroris, termasuk Hizbut Tahrir Indonesia. Bahkan partai politik seperti PKS yang menganut ideologi Islam bisa terkena dampaknya. Jika terorisme adalah kegiatan melalui aksi kekerasan dan teror, maka gerombolan bersenjata di Papua juga harus disebut terorisme.

Pansus Revisi UU Antiterorisme akhirnya menyepakati pasal ini. Menurut Ketua Panja RUU Terorisme dari Pemerintah Enny Nurbaningsih, mayoritas fraksi di DPR telah menyepakati definisi terorisme yang diajukan pemerintah yakni "Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional."

Mari kita tafsirkan definisi tersebut. Secara umum memang sudah menggambarkan aspirasi pihak-pihak yang menginginkan agar terorisme tidak dikaitkan dengan agama manapun. Sebab terorisme memang bukan ajaran Islam. Buktinya, terorisme juga tumbuh dan menyerang umat Islam, terutama di negara-negara Timur Tengah.

Namun kita harus mencermati frasa "yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas". Benar, bunyi pasal adalah satu kesatuan utuh dan saling berkait dengan pasal lainnya termasuk penjelasan. Tetapi frasa itu terlalu multitafsir. Sebab sesuatu yang menimbulkan suasana teror dan rasa takut secara meluas tidak memiliki batasan. Bagaimana menjelaskan suasana teror? Mencekam, menimbulkan jatuhnya korban? Berapa banyak korbannya? Kemudian "rasa takut meluas". Batasan luasnya seperti apa? Seluruh Indonesia? Satu kota? Atau bahkan mungkin satu desa?

Mari kita gunakan analogi sederhana. Terjadi pembunuhan dengan cara dimutilasi di depan umum sambil menyeru akan menyerbu kampung tetangga. Peristiwa ini pastnya "menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas". Namun apakah layak disebut perbuatan terorisme? Ingat, peristiwa seperti yang dianalogikan ini pernah terjadi di Indonesia.

Kita gunakan contoh lain. Terjadi perang antar kampung, atau tawuiran pemuda antar kampung, atau saling bakar kampung, gegara percintaan antar muda-mudi. Pastinya sudah terpenuhi "suasana teror atau rasa takut secara meluas" bukan? Pertanyaannya, apakah ini juga masuk kategori terorisme? 

Lebih konyol lagi jika seluruh poin dalam pasal tersebut harus terpenuhi. Sebab korban massal, kerusakan objek vital yang strategis juga multitafsir. Jika menggunakan seluruh poin dalam mpasal ini, maka bom Surabaya bisa lolos dari definisi terorisme karena tidak ada kerusakan pada objek vital yang strategis, selain rumah ibadah.

Kita sangat menyayangkan pernyataan Menko Polhukam Wiranto yang enggan membuka kesepakatan yang sudah diambil antara pemerintah dengan DPR dengan alasan menghindari diskursus di tengah masyarakat. Menurutnya, poin tersebut terlalu awam untuk ditanggapi masyarakat.

Mengapa pemerintah terkesan menutup-nutupinya? Jangan jadikan kondisi saat ini, keprihatinan dan belasungkawa mendalam kita kepada para korban kebiadaban teroris sebagai alas untuk membenarkan pengingkaran terhadap semangat demokrasi. Bukankah pembuatan UU harus melibatkan partisipasi masyarakat, sekalipun sudah ada perwakilan di DPR?

Mari kita kutuk dan berantas terorisme hingga ke akar-akarnya. Berikan kewenangan seluas-luasnya kepada aparat keamanan untuk melakukan tugasnya. Negara tidak boleh kalah oleh pelaku teror. Tetapi tidak dengan mematikan nalar masyarakat. Tidak dengan menggerus rumah demokrasi yang susah payah kita bangun selama ini.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun