Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Hindari Kaitan Ideologi, Definisi "Terorisme" Justru Multitafsir

14 Mei 2018   21:02 Diperbarui: 16 Mei 2018   18:32 3484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menko Polhukam Wiranto. Foto: KOMPAS.com

Mari kita tafsirkan definisi tersebut. Secara umum memang sudah menggambarkan aspirasi pihak-pihak yang menginginkan agar terorisme tidak dikaitkan dengan agama manapun. Sebab terorisme memang bukan ajaran Islam. Buktinya, terorisme juga tumbuh dan menyerang umat Islam, terutama di negara-negara Timur Tengah.

Namun kita harus mencermati frasa "yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas". Benar, bunyi pasal adalah satu kesatuan utuh dan saling berkait dengan pasal lainnya termasuk penjelasan. Tetapi frasa itu terlalu multitafsir. Sebab sesuatu yang menimbulkan suasana teror dan rasa takut secara meluas tidak memiliki batasan. Bagaimana menjelaskan suasana teror? Mencekam, menimbulkan jatuhnya korban? Berapa banyak korbannya? Kemudian "rasa takut meluas". Batasan luasnya seperti apa? Seluruh Indonesia? Satu kota? Atau bahkan mungkin satu desa?

Mari kita gunakan analogi sederhana. Terjadi pembunuhan dengan cara dimutilasi di depan umum sambil menyeru akan menyerbu kampung tetangga. Peristiwa ini pastnya "menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas". Namun apakah layak disebut perbuatan terorisme? Ingat, peristiwa seperti yang dianalogikan ini pernah terjadi di Indonesia.

Kita gunakan contoh lain. Terjadi perang antar kampung, atau tawuiran pemuda antar kampung, atau saling bakar kampung, gegara percintaan antar muda-mudi. Pastinya sudah terpenuhi "suasana teror atau rasa takut secara meluas" bukan? Pertanyaannya, apakah ini juga masuk kategori terorisme? 

Lebih konyol lagi jika seluruh poin dalam pasal tersebut harus terpenuhi. Sebab korban massal, kerusakan objek vital yang strategis juga multitafsir. Jika menggunakan seluruh poin dalam mpasal ini, maka bom Surabaya bisa lolos dari definisi terorisme karena tidak ada kerusakan pada objek vital yang strategis, selain rumah ibadah.

Kita sangat menyayangkan pernyataan Menko Polhukam Wiranto yang enggan membuka kesepakatan yang sudah diambil antara pemerintah dengan DPR dengan alasan menghindari diskursus di tengah masyarakat. Menurutnya, poin tersebut terlalu awam untuk ditanggapi masyarakat.

Mengapa pemerintah terkesan menutup-nutupinya? Jangan jadikan kondisi saat ini, keprihatinan dan belasungkawa mendalam kita kepada para korban kebiadaban teroris sebagai alas untuk membenarkan pengingkaran terhadap semangat demokrasi. Bukankah pembuatan UU harus melibatkan partisipasi masyarakat, sekalipun sudah ada perwakilan di DPR?

Mari kita kutuk dan berantas terorisme hingga ke akar-akarnya. Berikan kewenangan seluas-luasnya kepada aparat keamanan untuk melakukan tugasnya. Negara tidak boleh kalah oleh pelaku teror. Tetapi tidak dengan mematikan nalar masyarakat. Tidak dengan menggerus rumah demokrasi yang susah payah kita bangun selama ini.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun