Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Minta Perppu, Kapolri Ungkit Pentingnya Pasal Guantanamo

13 Mei 2018   20:35 Diperbarui: 14 Mei 2018   08:15 3889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kapolri Jenderal Tito Karnavian mendesak DPR segera mengesahkan Revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang memuat pasal "Guantanamo".  Pasal ini memungkinkan polisi menangkap orang-orang yang diduga tergabung dalam jaringan  teroris meski belum melakukan tindak terorisme.

Dalam keterangan pers seperti ditayangkan dalam breaking news Kompas TV, Minggu (13/5/18), usai terjadinya ledakan di tiga gereja di Surabaya yang menewaskan 13 orang dan melukai sedikitnya 41 orang, Jenderal Tito Karnavian menyebut revisi UU Antiterorisme sangat penting untuk memeberantas pelaku terorisme sebelum mereka beraksi. 

Sebab saat ini, meski polisi mengetahui jaringan Jamaah Anshar Daulah (JAD) di bawah kepemimpinan Aman Abdurrahman yang terafiliasi dengan kelompok ISIS di Syria sebegaimana Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang sebelumnya dipimpin Abu Bakar Ba'asyir, namun mereka tidak bisa langsung ditindak sebelum ada aksi.

Seperti diketahui, Aman Abdurrahman  saat ini ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua Depok, dalam kasus  bom Thamrin tahun 2016 dan sebelumnya juga terlibat dalam pelatihan bersenjata di Aceh. Pimpinan JAD kemudian diserahkan kepada Zainal Anshori yang juga sudah dibekuk Densus 88 Antiteror dalam kasus penyelundupan senjata ke Filipina. 

Sementara Abu Bakar Ba'asyir juga tengah ditahan di Lapas Gunung Sindur namun akan dipindah ke lapas di Solo yang dekat rumahnya karena kondisinya yang sakit-sakitan. Ba'asyir. Sempat muncul kontroversi ketika ada sinyal pemerintah akan mengubah status Ba'asyir menjadi tahanan rumah. Tentangan bukan hanya dari dalam negeri namun juga luar negeri, terutama Australia dan Amerika Serikat.

Kapolri Jenderal Tito menambahkan, saat ini sedikitnya  ada 1100 warga Indonesia yang sudah terindikasi terpengaruh paham radikal ISIS dan masih ada 500-an lagi yang masih berada di Syria dan siap kembali karena posisinya terdesak oleh serangan Amerika dan Rusia. UU yang ada hanya memberikan waktu selama 7 hari untuk melakukan penahanan terhadap terduga anggota teroris dan setelah itu harus dilepas jika tidak ada bukti. 

Sementara dalam draf pasal 43 A revisi UU Antiterorisme alias pasal Guantanamo- merujuk pada sel tahanan milik Amerika Serikat yang digunakan untuk menahan para pelaku teroris, aparat kepolisian diberi kewenangan untuk mempidanakan seseorang yang menjadi anggota jaringan teroris, bahkan "mengasingkannya" selama 2-6 bulan tanpa peradilan meski yang bersangkutan belum melakukan tindak terorisme. Tito beralasan, kewenangan ini untuk mencegah terjadinya aksi seperti bom Surabaya.

"UU Nomor 15 Tahun 2003 sangat responsif sekali. Kita bisa bertindak jika sudah ada aksi. Kita ingin lebih dari itu. Siapa pun yang bergabung dengan organisasi teroris bisa diproses pidana," ujar  Kapolri yang didampingi Panglima TNI Jenderal Hadi Tjahjanto.

Kapolri pun meminta agar revisi UU Antiterorisme harus segera diselesaikan.  Jika perlu, kata Kapolri, dirinya memohon kepada Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Perppu karena saat ini korban terorisme terus berjatuhan.

Mengapa pembahasan revisi UU Antiterorisme begitu lama? Terlalu gegabah jika hanya menyalahkan DPR. Surat Panglima TNI yang meminta agar nama UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diubah menjadi UU Penanggulangan Aksi Terorisme, membuat pembahasan mundur kembali. 

Dalam surat yang dikirim ke Pansus revisi UU Antioterisme, Panglima beralasan, perubahan  nama UU akan mewadahi kepentingan tugas dan peran TNI. Padahal peran TNI dalam pemberantasan terorisme sudah diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. 

Akibatnya terjadi perdebatan bukan hanya di antara anggota DPR namun juga antar lembaga pemerintah. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyebut, jika mengakomodir keinginan Panglima TNI maka perlu kajian akademik baru. Yasonna cenderung tidak menyetujui usulan Panglima karena menurutnya pengerahan kekuatan TNI selain perang harus didasarkan pada keputusan politik atau persetujuan Presiden.

Kedua, terkait kontroversi pasal Guantanamo. Sulit dipahami bagaimana mungkin di negara demokrasi ada pasal yang memberikan kewenangan lebih kepada sebuah institusi untuk "melanggar" hak-hak dasar warga negara. 

Mari kita bayangankan, seseorang bergabung dengan sebuah organisasi, lalu pemimpinnya atau anggota lain, melakukan tindak pidana terorisme dan anggota yang tidak tahu-menahu ikut diciduk dan ditahan dalam kurun waktu cukup lama tanpa putusan pengadilan. 

Ini pengingkaran serius terhadap hak dasar warga negara dan rawan digunakan untuk kepentingan politik. Jika pasal ini disahkan, Indonesia akan mengalami kemunduran di bidang HAM melebihi zaman Orde Baru.

Kita menghargai upaya kepolisian dalam menindak tegas para pelaku teror. Kepolisian, dalam hal ini Densus 88 Antiteror sudah diberikan "hak istimewa" berupa kewenangan menahan seseorang yang diduga teroris selama 7 hari sebelum kemudian ditetapkan sebagai tersangka atau dilepas begitu saja karena tidak cukup bukti. Jangan meminta lebih karena kewenangan berlebihan tanpa check and balance berpotensi menabrak aturan lainnya.    

Jangan juga menjadikan peristiwa seperti kerusahan di Mako Brimob dan bom Surabaya sebagai alas untuk "meminta" pihak lain memenuhi inginannya. Sebab hal itu justru akan memancing kecurigaan publik ada pihak-pihak yang "memanfaatkan" peristiwa tersebut. 

Terlebih saat ini Presiden Jokowi tengah berupaya merajut persatuan nasional dengan "merangkul" kubu  yang selama ini dipersepsikan sebagai kelompok garis keras. 

Kita mendukung kepolisian yang tegas dan profesional. Masyarakat juga mendukung dan memaklumi sepakterjang kepolisian, khususnya Densus 88 Antiteror. dalam memberantas tindak pidana terorisme karena menyadari teroris adalah musuh bersama. 

namun, jika sudah ratusan pelaku terorisme digulung dan sebagian ditembak mati, masih terjadi peristiwa pengeboman, jangan menyalahkan UU-nya, tetapi mungkin perlu mengkaji kembali sisi-sisi lain. 

Mungkin ini saat yang tepat untuk memberikan porsi lebih pada program deradikalisasi. Demikian juga program pemerintah untuk menipiskan kesenjangan sosial dan ekonomi. Cara-cara seperti itu jauh lebih cepat memangkas berkembangnya paham radikal dibanding dengan muntahan peluru.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun