Baru kali ini ada pembagian sembako untuk ratusan ribu warga tanpa diketahui dengan pasti siapa penyandang dananya. Bahkan izin kegiatan menggunakan nama acara lain. Pernyataan buru-buru pihak kepolisian terkait kematian dua bocah yang ikut antri sembako di Monumen Nasional, kian menimbulkan tanda tanya terkait kredibilitas dan motif penyelenggara.
Acara bagi-bagi sembako di Monas Jakarta Pusat, Sabtu 28 April 2018, sebenarnya sudah menuai kontroversi sejak awal. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Tinia Budiati sempat melarang kegiatan tersebut karena dikuatirkan menimbulkan masalah.
Namun karena kupon sudah terlanjur disebar, izin akhirnya diberikan. Menurut Ketua Panitia Ketua Forum Untukmu Indonesia (FUI) David Revano Santosa alias Dave Santosa, acara bagi-bagi sembako merupakan bagian dari kegiatan bakti sosial dalam acara kebangsaan, parade budaya dan ibadah lintas agama serta perayaan Paskah umat Kristiani.
Kegiatan ini kemudian menjadi ramai karena dua isu yang menyelimuti. Pertama, banyak pihak menduga acara bagi-bagi sembako di Monas merupakan kegiatan politik yang didukung Istana dan PDI Perjuangan. Sebab sebelumnya, saat kunjungan kerja Presiden Jokowi ke Sukabumi, Jawa Barat, disertai acara bagi-bagi sembako yang dikoordinir kepolisian setempat. Dave diketahui juga pernah menjadi ketua fasilitator Forum Relawan Jokowi (ForJokowi) saat gelaran Pilpres 2014 lalu.
Kedua, isu pemurtadan agama yang ramai diberitakan di portal berita Islam dan blog-blog lainnya, dengan mengutip pernyataan Ketua Komite Dakwah Khusus Majelis Ulama Indonesia (KDK MUI), Ustadz Abu Deedat Syihabuddin.
Menurut Abu Deedat, acara bagi-bagis embako merupakan kegiatan pemurtadan terhadap umat Islam yang dikemas kegiatan sosial. Namun pernyataan Sulit Abu Deedat belum terkonfirmasi secara meyakinkan karena tidak ada satupun media mainstream yang memuatnya. Dalam berita yang beredar luas itu, juga disertakan bantahan Dave Santosa.
Jika mengikuti perkembangan peristiwa ini, nitizen pun seperti kebingungan. Mereka yang awalnya menghujat kegiatan itu sebagai bentuk pencitraan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, mendadak berbalik mendukung panitia kegiatan setelah Wakil Gubernur Sandiaga Uno membantah keterlibatan Pemprov DKI Jakarta dan justru gencar meminta pertanggungjawaban panitia karena mengotori Monas dan menyebabkan dua anak kecil yakni  Muhammad Rizky Saputra (10) dan Mahesa Djunaidi alias Sosis (11) meninggal dunia --meski polisi menyebut kematiannya bukan karena desak-desakkan melainkan dehidrasi dan udara panas.
PDIP yang awalnya tidak bersuara, belakangan juga menyalahkan Pemprov DKI selaku pemberi izin kegiatan. Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Gembong Warsono meminta agar Sandiaga Uno tidak cuci tangan atas insiden Monas. Â
Lalu apa sebenarnya motif pembagian sembako di Monas? Ada beberapa kemungkinannya. Pertama, kemungkinan kegiatan tersebut memang "didukung" Istana. Di tengah melambungnya harga kebutuhan pokok menjelang Ramadhan, sepertinya istana ingin meringankan beban sebagian warga miskin. Namun hal itu tidak bisa dilakukan secara terbuka karena rawan kontroversi. Pembagian sembako bisa ditafsirkan sebagai bentuk "pengakuan" pemerintah terhadap kesulitan sebagian warga di tengah klaim keberhasilan pembangunan.
Kedua, kemungkinan adanya "campur-tangan" PDIP, namun enggan diekspose. Pasalnya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pernah mengecam program bantuan langsung tunai (BLT) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang disebutnya bentuk pembodohan dan menciptakan mental pengemis penerimanya. Presiden Jokowi pun mengganti BLT dengan program padat karya cash. Namun kondisi masyarakat saat ini sangat membutuhkan bantuan yang bisa langsung dinikmati. Presiden Jokowi pun luluh dan sepertinya tidak (lagi) mengharamkan pembagian sembako seperti dalam kunjungan kerjanya ke Sukabumi. Dihadapkan pada pilihan sulit, kemungkinan PDIP menggunakan pihak lain untuk membuat kegiatan dengan motif meringankan beban masyarakat kelas bawah.