Era keterbukaan yang kita nikmati sejak akhir 90-an, menjadi liar ketika semua warga bangsa bisa langsung menyuarakan keinginan, pendapat hingga kemarahannya di ruang publik melalui media sosial. Mereka saling bersahut dengan bahasa yang paling vulgar karena ingin menjadi (terlihat) paling berani dan "hero" di komunitasnya.
Bukan suatu kebetulan jika saat ini dengan mudah kita mendapati ungkapan dan kritik dengan bahasa yang begitu telanjang sehingga sulit membedakannya dengan caci-maki. Â Orang-orang yang masih berpikir bahwa adab dan kesantunan harus dijaga, lantas dianggap makhluk aneh. Sebagian masyarakat dengan sukarela ikut membenarkan sikap barbar para elit, sepanjang sesuai dengan warna politiknya. Kata-kata seperti baji**an, ba**sat", t*i", menjadi keseharian di telinga kita karena yang mengucapkan para pejabat di depan media massa.
Padahal ketika kita berucap dengan kata kasar, sejatinya merugikan diri sendiri. Orang yang dicaci justru mendapat simpati lebih luas dibanding pembenaran yang dilakukan oleh "umat" si penghujat. Akibatnya, tujuan makian tersebut, tidak tersampai, selain kepuasan hati. Belum lagi kemungkinan terkena delik.
Kritik terhadap pemerintah, kolega, apalagi rakyatnya, mestinya dilakukan dengan bahasa yang santun. Hanya orang yang berpikir jika lawan bicara atau pihak yang dikritik bodoh yang masih suka menyerang dengan kata-kata kasar. Orang seperti ini mengira kritiknya tidak sampai jika menggunakan bahasa santun, sindiran dan eufemisme.
Padahal kritik yang disampaikan dengan cara-cara yang beradab dan pilihan penggunaan  kata yang tepat, memiliki daya rusak yang sangat besar. Pihak yang dikritik pun kebingungan. Meski tahu kritik itu ditujukan kepada dirinya, kepada umatnya, tetapi butuh waktu untuk mencernanya sementara kerusakan sudah terjadi.
Mari kita lihat "kritik" yang disampaikan dosen filsafat Universitas Indonesia Rocky Gerung saat tampil di acara Indonesia Lawyers Club yang disiarkan TV One, Selasa (10/4/18) lalu. Setelah dengan fasih membeber perbedaan fiksi dan fiktif, Rocky berkesimpulan kitab suci termasuk fiksi. "Kalau saya bilang 'kitab suci itu fiktif', besok saya dipenjara, tapi kalau saya bilang 'kitab suci itu fiksi', saya punya argumen," ujar Rocky.
Kritik -- mohon maaf saya menyebutnya demikian, Rocky jelas menghantam orang-orang yang selama ini meyakini kitab sucinya sebagai wahyu Tuhan dengan kebenaran mutlak. Sebab, menurut KBBI, fiksi adalah pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran sehingga "boleh" mengandung ketidakbenaran. Bahkan ada yang meyakini (sebagian) karya fiksi adalah kebohongan yang "tidak berdosa". Kritik Rocky terhadap pemahaman kitab suci akan merusak kemapanan pikir (keyakinan), minimal menjadi second  opinion, umat beragama-- meski tidak seluruhnya.
Namun pernyataan Rocky tidak serta-merta membuat marah kelompok yang meyakini kitab suci bukan dongeng atau cerita khayalan. Mengapa? Rocky melakukan kritik secara beradab, santun dan penuh perhitungan. Tentu saja disertai pemahaman yang sudah paripurna. Rocky paham betul, kitab suci milik semua umat beragama atau dengan kalimat lain, semua agama memiliki kitab suci, dan kritik itu tidak spesifik untuk agama tertentu. Padahal secara "rasa", kita bisa menyimpulkan kritik Rocky sebenarnya hanya ditujukan kepada umat agama- atau kelompok umat agama, tertentu.
Dan puncaknya, laporan Abu Janda menjadi "lucu" karena selama ini dia dikenal sebagai pembela Basuki Tjahja Purnama yang telah dijatuhi hukuman penjara karena terbukti menista agama, hingga Sukmawati dengan puisi "Ibu Indonesia" yang kontroversial dan sudah dilaporkan ke polisi oleh banyak pihak.
Abu Janda dianggap memiliki standar ganda. Lebih jauh lagi, Abu Janda dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk menjatuhkan Rocky yang selama ini dikenal dengan kritik tajamnya terhadap pemerintahan Jokowi. Faktor ini juga yang dituding oleh sebagian kalangan mengapa kubu yang selama ini "baperan" manakala agamanya disentil, tidak memberikan reaksi frontal terhadap "penistaan" kitab suci yang dilakukan Rocky.