Puisi berjudul "Ibu Indonesia" karya Sukmawati Soekarnoputri menambah panjang daftar kekonyolan kubu nasionalis dalam mengemas isu sensitif. Kondisi ini semakin memprihatinkan karena di saat bersamaan kubu lawan justru berhasil menciptakan ghirah keagamaan dengan memanfaatkan blunder kaum nasionalis.Â
Perlu segera merevitalisasi "dogma" nasionalis agar tidak menjadi sesalan usai Pemilu dan Pilpres 2019.
Dalam sejarah kontestasi elektoral Indonesia sejak kemerdekaan, partai-partai berhaluan agama ---setidaknya berbasis keagamaan, belum pernah menang. Pada pemilu Orde Lama tahun 1955, Partai Nasional Indonesia keluar sebagai pemenang dengan selisih sekitar setengah juta suara dibanding Masyumi yang berada di posisi kedua meski perolehan kursi keduanya sama yakni 57 kursi di DPR.
Untuk kursi Konstituante, PNI meraih 119 sedang Masyumi hanya 112. Secara umum, blok nasionalis memiliki 274 kursi (53,3 persen) dan kubu agama (Islam) memiliki 230 kursi (44,8 persen), sisanya masuk dalam blok sosialis.Â
Namun kubu nasionalis yang menghendaki kembali ke UUD 1945 gagal mencapai 2/3 persen suara dan menghadapi kebuntuan politik sehingga kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit 5 Juli 1959. Setahun kemudian Bung Karno juga membubarkan DPR diikuti dengan pembentukan DPR-GR dan MPR Sementara.
Di masa Orde Baru, kubu agama semakin tidak berkutik ketika Presiden Soeharto memaksa seluruh partai melakukan fusi (penggabungan) sesuai "alirannya". Kubu nasionalis bergabung di bawah bendera PDI sedangkan kubu agama berada di payung Partai Persatuan Pembangunan.Â
Namun demikian, corak Golongan Karya- organisasi sosial politik yang menjadi kendaraan Pak Harto, lebih condong ke haluan nasionalis. Benar Pak Harto melakukan pembonsaian terhadap PDI, tapi hal itu lebih dimaksudkan untuk membatasi ruang gerak keturunan Soekarno di pentas politik, bukan paham nasionalis dalam konteks luas. Konsep berdikari, yang menjadi nafas kaum nasionalis dan selalu digelorakan Bung Karno, diimplementasikan Pak Harto dalam banyak kebijakan ekonomi.Â
Meski tidak terang-terangan menolak liberalisasi ekonomi dan tetap membuka pasar bebas, namun Pak Harto paling kekeuh menolak swastanisasi perusahaan negara yang memegang kendali hajat hidup rakyat Indonesia.Â
Baru di akhir masa kekuasaannya, Soeharto --menurut Tanri Abeng, mulai berpikir untuk menjual BUMN di tengah desakan untuk membayar utang US$ 2 milyar kepada IMF.
Hingga akhir kekuasaannya, Pak Harto juga tetap "melarang" penggunaan syariat keagamaan seperti jilbab bagi Muslimah, di instansi-instansi pemerintah, termasuk militer. Kewajiban memperlihatkan telinga di pasphoto kartu identitas diri, seperti KTP tetap berlaku. Soeharto melihat pemakaian jilbab bukan lagi dalam konteks syariat Islam, namun ditarik ke wilayah politik dan dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaannya.
Tidak heran jika Pak Harto pun getol memberangus gerakan politik Islam. Jika Bung Karno membubarkan Masyumi dan memenjarakan tokoh-tokohnya tanpa proses peradilan pada tahun 1960 yang menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon atas hasutan PKI, maka jejak Pak Harto bisa dirunut dari peristiwa Tanjung Priok (1984) hingga penumpasan gerakan Warsidi di Talangsari, Lampung (1989). Pak Harto juga tetap tidak mau merehabilitasi pentolan Masyumi yang dipenjara di masa Soekarno, meski merangkul pakar ekonomi Prof Sumitro Djojohadikusumo yang saat itu berada di luar negeri untuk menghindari kejaran rezim Orde Lama karena keterlibatannya dalam PRRI/Permesta.