Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jika Sri Mulyani Baperan, Rupiah Bisa Jadi Yuan

26 Maret 2018   09:06 Diperbarui: 26 Maret 2018   14:51 3405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sri Mulyani mengingatkan keberhasilannya menurunkan rasio utang dari 47 persen ke 26 persen saat dirinya menjadi Menteri Keuangan di era SBY. Selain itu Ani juga membanggakan program kenaikan aset pemerintah sebesar 1.867 triliun yang merupakan hasil revaluasi tahun 2017.

Ani pun mengajak masyarakat dan elit politik tidak terjangkit histeria dan kekhawatiran berlebihan yang menyebabkan kondisi masyarakat menjadi tidak produktif, kecuali memang memiliki tujuan untuk membuat masyarakat resah serta untuk kepentingan politik tertentu. "Upaya politik destruktif seperti ini sungguh tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang baik dan membangun," kecamnya.

Mengapa Sri Mulyani menjadi baper? Mestinya kritik yang disampaikan sejumlah pihak, dapat dijadikan instrumen pengingat karena utang yang terlalu besar mengandung risiko yang juga besar. Apalagi klaim pemerintah selama ini-- jika utang tersebut untuk membangun infrastruktur, tidak sepenuhnya tepat. Masih banyak "kebocoran" yang harus dibenahi, terutama besaran biaya perjalanan dinas ASN seperti disebut Faisal Basri.

Jangan berlindung di balik teori-teori seperti rasio utang terhadap PDB yang dibandingkan dengan Jepang dan negara-negara lain yang secara ekonomi sangat kuat. Lagipula surat utang pemerintah Jepang mayoritas dipegang rakyatnya sendiri, bukan investor asing sehingga jika pun terjadi gejolak uang tetap berada di dalam negeri. 

Hal ini sangat berbeda dengan Indonesia di mana surat utang Indonesia lebih banyak dipegang investor asing dengan denominasi mata uang asing sehingga ketika ada isu yang tidak baik mereka akan melepasnya dan membawa uangnya keluar Indonesia. Jika hal itu dilakukan secara serentak, sangat mungkin kita gagal bayar, minimal rupiah akan nyungsep!

Utang yang terlalu besar juga membebani APBN. Besaran pokok utang dan bunga yang harus dibayar setiap tahun terus membengkak. Lebih parah lagi manakala untuk membayar pokok pinjaman dan bunga menggunakan utang baru dengan bunga lebih tinggi.     

Pemerintah mestinya menyadari, kekhawatiran masyarakat terhadap besaran utang pemerintah bisa menjadi malapetaka jika tidak dikelola dengan baik. Masyarakat tidak membutuhkan bantahan, apalagi baper, melainkan bukti nyata adanya upaya pemerintah untuk mengendalikan utang, sekalipun dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur.

Lebih dari itu masyarakat juga menuntut ada bukti nyata jika utang tersebut memberi manfaat. Sebagai contoh, bagaimana publik bisa percaya pembangunan Trans Papua bermanfaat bagi masyarakat jika setiap hari yang dilihat hanya lalu-lalang kendaraan perusahaan perkebunan? Butuh buktinya nyata jika setelah ada "jalan tol" yang mestinya memperlancar distribusi barang, harga barang kebutuhan pokok turun. Jika ternyata harganya tetap sama antara sebelum dan sesudah ada Trans Papua, atau bahkan lebih mahal, jangan salahkan mereka yang mengkritiknya.   

Kita tidak ingin Presiden Jokowi gagal melanjutkan pemerintahannya ke periode kedua. Tetapi sulit jika hanya mengkampanyekan keberhasilan pembangunan infrastruktur karena akan disandingkan dengan besaran utang. Masih banyak yang berpikiran rumah megah yang dibangun dengan uang utangan tidak membuat nyaman penghuninya. Jangan salahkan mereka, tetapi pahami psikologinya. Terlebih, selain ada negara yang sukses membangun ekonominya dengan duit utangan, ada juga negara yang menggadaikan negaranya, bahkan mengganti mata uangnya dengan mata uang negara pemberi utang karena gagal membayar utang.

Untuk itu, kita berharap Ani tidak baperan karena akan menyulut situasi tambah "kacau" hingga rupiah terkapar. Jika kondisi ini berlanjut, bukan tidak mungkin Indonesia mengalami hal yang sama seperti Zimbabwe. Ingat, Zimbabwe dipaksa mengganti mata uangnya dengan yuan hanya gegara gagal membayar utang sebesar 40 juta dollar AS ke China. Padahal utang Indonesia ke China  per September 2017 saja sebesar 15 miliar dollar AS. 

salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun