Kontroversi larangan menggunakan cadar oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta kian meluas. Semakin banyak pihak yang menyayangkan larangan tersebut, termasuk Komnas HAM dan juga Majelis Ulama Indonesia. Adakah agenda politik di balik larangan tersebut?
Kebijakan UIN melarang penggunaan cadar  memang ironi. Sebab kampus yang dulunya bernama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) itu, mendasarkannya pada SK Rektor UIN tertanggal 20 Februari 2018. Sementara SK tersebut keluar karena sebelumnya ada 30-an mahasiswi yang menggunakan cadar dan sempat membawa simbol sebuah organisasi Islam yang kini sudah dilarang pemerintah.    Â
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yudian Wahyudi lantas membentuk tim konseling untuk membina para mahasiswi bercadar. Jika sudah 7 kali dilakukan konseling, namun mahasiswi tersebut tetap tidak mau menanggalkan cadarnya, maka diminta mengundurkan diri. Selain menegakkan konstitusi UIN yang sudah ditandatangani setiap mahasiswa saat akan masuk kampus Islam tersebut, ada alasan bersifat personal di balik larangan penggunaan cadar yakni terkait identitas mahasiswa, terutama saat ujian.
"Siapa yang menjamin waktu ujian itu benar dia orangnya, bisa saja kan bisa orang lain," ujar Yudian.
Tentangan terhadap kebijakan UIN datang dari berbagai arah. Ketua MUI KH Ma'ruf Amin menyebut, pemakaian cadar bagus menurut ajaran Islam. Sedangkan Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menilai, larangan bercadar membatasi hak seseorang untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Terlepas dari polemik di ranah agama dan hak asasi manusia, adakah sisi politisnya di balik larangan tersebut. Sebab jauh sebelumnya tepatnya tanggal 25 Agustus 2017, sejumlah rektor pernah menemui Presiden Jokowi yang menurut  Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir, untuk membahas upaya kampus mencegah masuknya paham-paham radikalisme, yakni melalui komitmen kebangsaan. Setelah itu yakni pada tanggal 25 September 2017, di depan Presiden Jokowi, ribuan rektor membacakan Deklarasi Kebangsaan dalam acara bertajuk Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi Melawan Radikalisme yang diselenggarakan di Badung, Bali.
Mungkin saja larangan penggunaan cadar tidak terkait dengan komitmen para rektor tersebut, karena menurut Rektor UIN Walisongo Semarang Suparman, Â larangan menggunakan pakaian berlebihan di kampusnya sudah ada sejak dulu. Namun, meski menilai cadar termasuk pakaian yang berelebihan, UIN Walisongo tidak sampai membuat larangan yang menimbulkan kontrovesi.
Jika polemik ini terus berlanjut, maka stigma adanya pihak-pihak anti Islam, mendapat pembenarannya. Tudingan paling mudah tentu diarahkan ke pemerintah dan partai pendukungnya, terutama PDIP. Meski Menristekdikti sudah menegaskan pihaknya tidak melarang penggunaan cadar, kopiah atau simbol agama lainnya, melainkan aktivitas radikalisme, Â tetapi pihak-pihak yang ingin mendulang di air keruh, dengan mudah membelokkan larangan penggunaan cadar di UIN Sunan Kalijaga sebagai produk pemerintah.
Untuk itu, pemerintah, khususnya Menristekdikti harus segera memanggil rektor UIN Sunan Kalijaga dan mencabut larangan penggunaan cadar. Kita sepakat, yang dilarang  dan perlu ditindak tegas adalah ajaran radikalisme berbalut agama, bukan penggunaan atribut keagamaan.Â
Jangan terlalu gampang memberikan  stigma buruk- semisal anggapan teroris, sebelum ada bukti. Bukankah kita pun dilarang menuding mahasiswi yang suka memakai kaos you can see sebagai "perempuan nakal"? Jika memang ada aturan yang mengatur demikian-- sebagai bagian dari otonomi kampus untuk mengatur cara berpakaian mahasiswa dan seluruh civitas kampus yang terlibat di dalamnya, ada baiknya digunakan pendekatan yang lebih persuasif tanpa disertai ancaman dikeluarkan dari kampus.Â
salam @yb