Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menggugat Etika Tentara dan Polisi Saat Berebut Wilayah Sipil

22 Desember 2017   20:24 Diperbarui: 23 Desember 2017   14:50 4348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Letjen Edy Rahmayadi menggelar apel pasukan komando gabungan dalam rangka operasi pengamanan VVIP kunjungan kenegaraan raja Arab Saudi. Foto: kompas.com/KRISTIAN ERDIANTO

Pilkada 2018 diwarnai kian maraknya anggota TNI dan Polri yang mencoba peruntungan di wilayah sipil. Meski diperbolehkan namun perlu dipikirkan aturan yang lebih ketat untuk memastikan tidak ada yang memanfaatkan jabatannya untuk menguasai jabatan-jabatan sipil.

Sejak era reformasi, sudah banyak anggota TNI/Polri yang melepas statusnya sebelum masa dinasnya selesai, baik pensiun dini maupun mengundurkan diri. 

Namun PIlkada 2018 paling menjadi sorotan karena jumlah anggota TNI/Polri yang ikut kontestasi Pilkada cukup banyak dan memiliki jabatan strategis. Sebut saja Pangkostrad TNI Letjen Edy Rahmayadi yang tetap bertekad maju di Pigub Sumatera Utara meski Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto telah mengembalikan jabatannya yang sempat dicopot Panglima sebelumnya, Jenderal Gatot Nurmantyo. Sementara dari Polri, Komandan Korps Brigade Mobil Inspektur Jenderal Murad Ismail justru sudah dicalonkan oleh PDIP untuk menduduki kursi Gubernur Maluku, berpasangan dengan Bupati Maluku Barat Daya Barnabas Orno.

Di kabupaten/kota ada nama Kapolres Tapanuli Utara AKBP Jonius Taripar Hutabarat yang akan maju dalam pemilihan bupati di daerah tersebut, Lalu Brigjen TNI Siswandi di Cirebon, Mayor Infantri David Suardi di Bengkulu dan AKBP Ilyas di Kota Bau-Bau. Dalam beberapa hari ke depan, sangat mungkin muncul nama baru atau yang saat ini sudah menyatakan maju tetapi masih menunggu kepastian dukungan partai politik seperti Kapolda Kalimantan Timur Irjen Safaruddin dan mantan Kapolda Jawa Barat yang kini menjabata sebagai Wakalemdiklat Polri Irjen Anton Charliyan.

Dan yang paling fenomenal adalah mundurnya Agus Harimurti Yudhoyono dari jabatan Komandan Yonif Mekanis 203/Arya Kemuning dengan pangkat Mayor TNI untuk mengikuti Pilgub DKI Jakarta 2017. Mirisnya, Agus yang berpasangan dengan Sylviana Murni kalah di putaran pertama.

Sesuai UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, khususnya Pasal 7 huruf (t), anggota TNI/Polri wajib mundur sejak ditetapkan menjadi pasangan calon peserta Pilkada. Namun ketentuan ini justru membuka peluang terjadinya penyalahgunaan jabatan. Sebab sebelum ditetapkan tentunya para anggota TNI/Polri, terlebih yang memiliki jabatan strategis seperti Panglima atau Kapolda, melakukan pendekatan dan lobi-lobi politik.

Siapa yang menjamin mereka tidak menggunakan fasilitas dan jabatannya untuk "menekan" parpol atau saat melakukan sosialisasi kepada masyarakat? Jika merujuk pada undang-undang yang lain, hal itu merupakan sebuah pelanggaran serius. UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dengan tegas mengatur larangan prajurit terlibat dalam kegiatan politik praktis. Demikian juga dengan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia mengharuskan polisi netral dalam kehidupan politik dan tak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

Perlu mulai dipikirkan untuk membuat aturan yang benar-benar menutup peluang bagi anggota TNI/Polri memasuki wilayah politik pratis. Misalnya, mantan anggota TNI/Polri baru diperbolehkan mengikuti Pilkada sekurang-kurangnya 2 tahun setelah pensiun atau mengundurkan diri dari kedinasan.

Apa yang dilakukan Yoyok Riyo Sudibyo bisa dijadikan contoh. Yoyok adalah lulusan Akademi Milter 1994. Danramil termuda saat menjabat Danramil 03 Tanjung Priok tersebut, memutuskan pensiun dini pada tahun 2006. Namun Yoyok tidak langsung mengikuti Pilkada melainkan membuka usaha garmen dan baru pada tahun 2011 mengikuti Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Yoyok yang awalnya maju sebagai calon independen kemudian didukung Partai Golkar, Demokrat, PAN dan PPP. Yoyok memenangkan Pilbub Batang dan dilantik pada Februari 2012. Saat dukungan masyarakat masih tinggi karena keberhasilannya dalam memajukan Batang serta berhasil menciptakan pemerintahan daerah yang bersih dari korupsi, peraih Bung Hatta Anti-Corruption Award itu justru menolak mengikuti Pilkada berikutnya.

Untuk mencapai hal tersebut tentu membutuhkan kemauan dari anggota DPR dan juga pemerintah. Sayangnya, partai-partai politik yang ada justru menjadi 'pendorong" bagi anggota TNI/Polri mengikuti perebutan jabatan sipil.

salam @yb

Tulisan ini diposting juga di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun