Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hentikan Pemberhalaan Aksi 212

30 November 2017   09:16 Diperbarui: 30 November 2017   17:15 8405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi 212 di Monas. Foto: republika.co.id

Miris. Gerakan Bela Islam 212 yang didasari keprihatinan karena keyakinannya dinistakan, kini dijadikan "berhala" oleh sekelompok orang. Gerakan apapun dikaitkan dengan Aksi 212. Lazimnya budaya pop, sesuatu yang diputar terus-menerus akan kehilangan greget dan akhirnya membosankan.

Sulit memungkiri kebesaran aksi umat Islam pada tanggal 2 Desember 2016 yang diinisiasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI dan kemudian dikenal sebagai gerakan Bela Islam 212. Lautan manusia memenuhi areal Monumen Nasioanal dan sekitarnya dengan satu tujuan yakni menyuarakan kemarahannya karena keyakinannya dinistakan. Berdiri tegak di bawah guyuran hujan sambil terus meneriakkan kebesaran Tuhan, hanya mungkin terjadi manakala ada sesuatu yang luar biasa sebagai penggeraknya. Makanan dan minuman mengalir dari berbagai penjuru tanpa ada yang mengkoordinir. Gerakan 212 semakin sempurna karena  berjalan tertib tanpa menimbulkan kerusakan, tanpa meninggalkan sampah, tanpa gesekan dengan pihak-pihak yang berseberangan.

Gerakan 212 tidak mungkin bisa terulang tanpa adanya isu perekat yang sangat kuat. Mengapa? Sebab Gerakan 212 bukan karena seruan Habib Rizieq Syihab semata, bukan juga karena Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), apalagi Amien Rais. Gerakan 212 juga bukan gerakan politik demi tujuan kekuasaan. Sebagian besar Umat Islam yang mengikuti Aksi 212 terbebas dari ikatan mazhab, organisasi, apalagi pandangan politik tertentu. Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan sebagai dasar kesimpulan demikian.

Pertama, gerakan yang digelar setelah Aksi 212 sangat terbatas- baik jumlah maupun gaungnya, meski atas ajakan tokoh-tokoh yang terlibat aktif dalam Gerakan 212. Sebagai contoh, Aksi 1212 berupa sholat Subuh berjamaah di Lapangan Gasibu Bandung yang diinisiasi Aa Gym. Demikian juga saat Rizieq Syibab diperiksa kepolisian, baik Polda Metrio Jaya maupun Polda Jawa Barat. 

Bahkan dalam aksi di DPR yang digelar Alumni 212 pada tanggal 24 Oktober 2017 lalu hanya diikuti seribuan orang. Padahal isu yang diusung sangat strategis yakni memberi tekanan agar anggota DPR menolak Perppu Ormas menjadi UU karena dianggap akan merugikan umat Islam.

Kedua, upaya melembagakan Aksi  212 menjadi gerakan politik praktis juga gagal. Rencana pembentukan Partai Syariah tidak mendapat sambutan. Mayoritas peserta Aksi 212 merasa tidak memiliki ikatan dengan Partai Syariah yang dideklarasikan Siti Asmah Ratu Agung dan beberapa mantan penggerak Aksi 212.

Ketiga, kesadaran umat Islam yang tidak mau diperalat demi tujuan-tujuan pribadi maupun politik.  Kepatuhan terhadap pimpinan ormas keagamaan dan tokoh agama, sebatas pada isu-isu yang memang bersinggungan langsung dengan keyakinannya. Umat Islam yang tidak bernaung di bawah Front Pembela Islam, tetap bersimpatik pada perjuangan Habib Rizieq dalam menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, tapi tidak pada pandangan politiknya, apalagi tindakan pribadinya. Umat Islam sangat respek pada seruan-seruan dan dakwah Aa Gym, Bachtiar Nasir hingga KH Muhammad Arifin Ilham. Tetapi tidak akan bergerak ketika mereka berseru urusan di luar koteks agama.

Dari pemahaman di atas, maka haqul yakin perayaan satu tahun Aksi 212 yang akan digelar di Monas tidak akan mendapat sambutan luas dari umat Islam meski penggeraknya adalah tokoh-tokoh di balik GNPF MUI. Isu kehadiran Rizieq Syihab- yang dikabarkan hendak pulang dari Arab Saudi, juga tidak akan menggerakkan umat Islam. 

Sebagian besar warga Jakarta juga cuek dengan kabar milad Gerakan 212. Padahal dulu, seminggu menjelang Aksi 212, warga Jakarta sudah "bersiap". Tepat di hari "H' sepanjang jalan-jalan menuju Monas seperti Kramat Raya, Suryopranoto hingga Gunung Sahari banyak berdiri posko makanan gratis hingga pengobatan.    

Mengapa saat ini tidak terjadi situasi yang sama? Sebab bagi sebagian besar umat Islam,  baik di Jakarta maupun daerah, Aksi 212 sudah selesai dengan telah dijatuhkannya vonis bersalah kepada Basuki Tjahaja Purnama. Tidak lebih dan tidak kurang. Sebagian besar umat Islam tidak peduli apakah Ahok dipenjara di Mako Brimob atau tempat lain. Esensinya adalah negara mengakui perkataannya telah melukai umat Islam dan kemudian menjatuhkan hukuman. Ketika hukumannya dianggap sudah memenuhi rasa keadilan, maka selesailah perkara.

Fakta-fakta di atas mestinya bisa dijadikan pengingat bagi orang-orang yang selalu mengklaim sebagai "pemilik" Gerakan 212. Jangan memberhalakan Aksi 212. Jangan selalu mengkaitkan aksi tersebut dengan gerakan-gerakan yang bertendensi politik atau kepentingan lain di luar urusan umat. Jangan jadikan umat Islam sebagai tameng untuk menekan kelompok lain, apalagi tameng demi kekuasaan.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun