Substansi Perppu Ormas Nomor 2/20017 yang telah disahkan oleh DPR menjadi undang-undang dan tinggal menunggu tandatangan Presiden Joko Widodo, adalah mempercepat proses pembubaran organisasi kemasyarakatan yang dinilai bertentangan dengan Pancasila. Jika revisi dimaksudkan untuk memasukkan pasal pembubaran Ormas harus melalui jalur pengadilan, apa bedanya dengan UU UU Nomor 17 Tahun 2013 yang digantikannya?
Proses politik di DPR menyangkut pembuatan sebuah UU mestinya sudah selesai setelah diambil keputusan. Kubu yang menentang, tidak setuju namun kalah dalam voting, mau tidak mau harus menerimanya sebagai konsekuensi dari sebuah proses demokrasi politik. Â Proses selanjutnya ada di masyarakat. Mereka yang tidak setuju dengan produk tersebut dapat menggunakan mekanisme judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Namun hal itu rupanya tidak berlaku di dalam pengesahan Perppu Ormas menjadi undang-undang. Proses politik belum selesai meski pimpinan rapat sudah memutuskan menyetujui penguatan Perppu menjadi UU setelah dilakukan voting dan dimenangkan kubu yang menerima. Pasalnya, tiga fraksi yang setuju memberikan catatan agar segera direvisi begitu diundangkan. Ketiganya adalah Demokrat. PKB dan PPP. Bahkan SBY sudah menyiapkan naskah akademik untuk menggantikan beberapa pasal yang dipersoalkan.
Sulit bagi kita menalar logika yang dibangun oleh mereka, terutama Ketua Umum Partai Demokrat  Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam jumpa pers, SBY memaparkan perlunya revisi UU Ormas karena ingin mengembalikan proses pembubaran Ormas melalui pengadilan. Demokrat menyoal hilangnya pasal 70 dan pasal 71 UU 17/2013 yang  mengatur mekanisme pembubaran ormas. Bahwa ada hal lain, tetapi tuntutan ini yang terasa janggal dan aneh. Sebab di situlah letak perbedaan sesungguhnya antara UU Ormas yang baru dengan UU No. 17/2013 yang digantikannya.
Pertanyaan menariknya, mengapa Demokrat tidak langsung menolak- mengikuti tiga fraksi lain yakni Gerindra, PAN dan PKS? Alasan bahwa jika Demokrat menolak maka pemerintah akan "dipermalu" karena pihak yang setuju terhadap UU Ormas kalah suara, rasanya kurang tepat. Tentu SBY dan para politisi Demokrat paham betul politik bukan sekedar hitung-hitungan di atas kertas. Belum tentu kalau Demokrat menolak lantas kubu yang setuju Perppu menjadi UU akan kalah. Sebab sangat mungkin fraksi PKB dan PPP tetap akan bergabung dengan kubu pemerintah sehingga kubu penentang yang justru kalah dengan komposisi 223 : 327. Andaipun PPP (39 kursi) atau PKB (47) membelot, tetap saja kubu pemerintah yang menang. Â
Jika tujuan persetujuan dengan embel-embel revisi itu hanya untuk pencitraan, meraih suara rakyat yang menolak Perppu Ormas, namun tidak ingin "dimusuhi" pemerintah, Demokrat harus melihat "kelihaian" PKS dalam mengemas isu. Saat paripurna DPR untuk memvoting kebijakan kenaikkan harga BBM di era SBY, PKS yang saat itu berada di kubu pemerintah bersuara paling lantang menentang kenaikkan harga BBM. Namun penolakan tersebut dilakukan di akhir rapat setelah memastikan suara yang menerima kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, sudah lebih dari cukup. Â
Ancaman SBY untuk membuat petisi berisi ketidakpercayaan terhadap pemerintah jika UU Ormas tidak direvisi, adalah bentuk lain pengingkaran proses politik. Di dalam lobi-lobi politik sebelum paripurna pengesahan- baik melalui mekanisme voting maupun musyawarah mufakat alias aklamasi, masing-masing kubu adu kelihaian dan tidak jarang melakukan manuver jebakan. Hal yang wajar. Menjadi tidak wajar ketika kemudian didokumentasikan dan digunakan untuk menekan. Jika hal itu dianggap wajar- bagian dari pendidikan politik, maka rakyat Indonesia masih menyimpan memori janji-janji politik yang tidak ditepati oleh SBY saat menjadi Presiden. Satu saja, apakah Jembatan Selat Sunda yang menjadi salah satu janji paling dinanti masyarakat Sumatera, sudah direalisasikan? Jika belum, apakah masyarakat boleh menyebutnya pembohong sebagaimana diksi yang disampaikan SBY bahwa jika pemerintah mengingkari kesepakatann revisi UU Ormas berarti pemerintah tidak bisa dipercaya alias bohong atau melakukan perbuatan tercela?
Tidak sepantasnya SBY melakukan manuver politik yang kurang elok seperti itu. Jika ingin memainkan politik dua kaki- mendukung pemerintah tetapi juga bersikap kritis karena ingin menarik simpati masyarakat, lakukanlah dengan elegan. Jangan sampai pertemuan-pertemuan dengan Presiden Jokowi selama ini, mentah lagi sehingga suhu politik kembali memanas.
Salam @yb Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H