Sejarah akan berulang. Pertanda itu kian dekat saat menyaksikan aksi massa di depan LBH Jakarta yang menuntut pembubaran kegiatan dan penangkapan orang PKI atau penganut paham komunis. Aksi ini tidak berdiri sendiri. Demikian juga dengan pemutaran film G30S/PKI yang saat ini dilakukan di markas-markas tentara. Apa targetnya?
Saat berorasi di depan massa Bela Rohingya 168 yang digelar PKS di pelataran Monas, tepatnya di depan Patung Arjuna Wiwaha atau Patung Kuda Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat, Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais menyerukan semua pihak untuk mewaspadai kebangkitan komunisme di Indonesia. Amien mendukung pemutaran film G30S/PKI atau Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia, di markas Komando Distrik Militer (Kodim) seluruh Indonesia. Menurut Amien, siapa pun yang ingin membangun kembali kejayaan PKI di Indonesia akan berhadapan dengan militer.
Ini bukan pernyataan pertama Amien Rais mengenai PKI. Saat Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu Ormas yang berujung pada pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia, Amien Rais juga mengkritiknya dan mengaitkan dengan paham komunisme yang katanya dibiarkan berkembang oleh rezim Jokowi. Pada beberapa kesempatan berbeda Amien Rais juga selalu mengingatkan akan kebangkitan PKI seraya mengingatkan upaya pengelabuan yang dilakukan pihak-pihak yang menyebut PKI sudah tidak ada, kenapa takut, padahal realitasnya PKI tengah berkembang.
Benarkah sinyalemen Amien Rais? Ada perubahan sikap sangat mendasar pada diri Amien Rais jika dikaitkan pada masa awal reformasi. Saat itu hampir semua elemen sepakat, film G30S/PKI adalah propaganda rezim Soeharto yang bertujuan untuk membungkam suara rakyat, termasuk gerakan-gerakan perubahan politik yang dimotori Amien Rais.
Film itu mengandung kebohongan mendasar karena hanya menonjolkan keheroikan Soeharto dalam membasmi gerakan yang bertujuan untuk merebut kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno. Sejarah kemudian menulis, peristiwa 30 September 1965 dijadikan legitimasi oleh Soeharto untuk menurunkan Soekarno dan menjadikan dirinya Presiden selama 32 tahun. Tentu mengherankan apabila sekarang Amien Rais justru mendukung pemutaran film tersebut untuk mendoktrin generasi muda akan bahaya PKI. Â Â Â Â
Jika ditanyakan kepada seluruh warga bangsa, haqul yakin, kita semua menentang kembalinya PKI di Indonesia. Bukan saja salah satu dogmanya anti Tuhan karena bersumber dari ajaran Marxisme dan Leninisme, tetapi juga berlawanan dengan kehendak rakyat yang menginginkan kebebasan berekpresi, berserikat dan berdemokrasi. Paham komunisme adalah seburuk-buruknya paham (politik) karena meniadakan hal-hal tersebut.
Tetapi kita tidak sepenuhnya percaya kampanye Amien Rais, termasuk dukungan terhadap pemutaran film G30S/PKI di markas-markas militer, murni untuk mewaspadai dan mencegah kebangkitan PKI. Yang paling mendekati kebenaran tujuan Amien Rais adalah menggunakan isu PKI adalah untuk menyerang Jokowi. Sebab isu PKI berkembang seiring naiknya Jokowi ke pentas nasional dan mencapai puncaknya menjelang Pemilihan Presiden 2014 lalu. Ditambah lagi pemerintah memfasilitasi kegiatan-kegiatan yang bisa ditafsirkan sebagai bentuk dukungan terhadap PKI seperti seminar-seminar yang dihadiri eks tokoh PKI dan korban tragedi pembantaian pasca 1965. Â
Isu PKI dianggap paling efektif karena bisa menyasar dua kelompok sekaligus yakni kaum nasionalis yang saat ini berkuasa dan kelompok yang dalam film G30S/PKI digambarkan memiliki pengaruh besar terhadap Bung Karno. Apalagi sampai sekarang masih ada yang menyalahkan sikap Bung Karno terutama keinginan untuk menyatukan tiga ideologi politik terbesar penopang demokrasi saat itu yakni Nasionalis, Komunis dan Agama (Nasakom) dalam bingkai Indonesia.
Penggerudukkan kantor LBH Jakarta di Jalan Diponegoro semalam, adalah ekspresi massa yang termakan isu-isu kebangkitan PKI sebagaimana dilontarkan Amien Rais dan kelompoknya. Massa tetap tidak percaya di dalam kantor bantuan hukum itu tidak sedang berlangsung kegiatan yang berbau PKI karena sebelumnya mereka menggelar diskusi tentang korban PKI yang kemudian dibubarkan polisi.
Agar persoalan menjadi jernih, polisi sebaiknya memeriksa kedua pihak. Kita tidak bisa menerima sikap anarkis, memaksakan kehendak yang dilakukan massa. Namun kita juga menyayangkan langkah LBH Jakarta yang masih juga melakukan kegiatan-kegiatan yang bisa ditafsirkan sebagai bentuk dukungan terhadap kelompok yang memiliki kecenderungan memiliki paham PKI. Kita pun mengecam ekspresi seni yang berkonten provokatif seperti Festival Belok Kiri beberapa waktu lalu. Kegiatan semacam itu akan dijadikan alas pembenar oleh kelompok seperti yang menggeruduk LBH Jakarta, bahwa kebangkitan PKI ada dan nyata.
Menyelesaikan masalah bangsa tidak cukup hanya dengan menyalahkan satu kelompok tanpa adanya kesadaran kelompok lainnya untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat provokatif. Mengecam Islam hanya karena perilaku satu-dua kelompok di dalamnya yang kita anggap buruk, bukan tindakan bijak karena akan melukai kompenen Islam lainnya yang mungkin awalnya juga mengecam sikap saudara seimannya tersebut. Banyak dari kita yang awalnya mengecam cara-cara yang dilakukan FPI namun sekarang berbalik menjadi lebih keras dari FPI karena ada dari kita yang secara terus-menerus mengecam agamanya orang-orang FPI, bukan perilaku orang per orang atau organisasinya saja. Â
Lebih parah lagi, manakala kepentingan politik dicampur-baurkan dengan isu-isu sensitif yang bisa memicu terjadinya"kebakaran" massa di tingkat akar rumput.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H