Kehadiran sesuatu yang luar biasa, pasti menghebohkan. Demikian juga kehadiran Kota Baru Meikarta di Cikarang, Jawa Barat. Kehebohannya bahkan memicu kembali perdebatan kewenangan kepala daerah, terutama gubernur, atas wilayahnya. Jika semua kewenangan ada di tingkat II (kabupaten/kota), apa fungsi gubernur?
Ide penguatan kembali kewenangan gubernur di dareahnya, sempat mengemuka menjelang pemilihan presiden 2014 lalu. Bukan rahasia lagi, mayoritas bupati/wali kota tidak lagi patuh terhadap gubernur meski UU Otonomi Daerah telah mengalami revisi dengan salah satu tujuannya memperkuat peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Bahkan dalam UU Otda terbaru yakni UU Nomor 23 Tahun 2014, telah dengan jelas adanya pendelegasian kewenangan yang semula ada di pemda tingkat II kepada pemda tingkat I. Ada 4 kewenangan yang harus diserahkan yakni Pendidikan SMA, Kelautan, Kehutanan dan juga Pertambangan.
Faktanya, hal itu tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Masih banyak kepala daerah tingkat II yang enggan memberikan kewenangannya. Mereka merasa memiliki mandat lebih lebih tinggi karena meski sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat, tetapi bupati dan wali kota yang memiliki wilayah dan penduduk. Apalagi UU Otda jelas menyebutkan otonomi berada di level tingkat II, bukan provinsi. Gubernur tak lebih hanya pelaksana pemerintah pusat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana diatur pada pasal 8 ayat (2) UU No. 23/2014. Tidak heran jika banyak bupati dan wali kota yang tidak patuh, bahkan membangkang terhadap perintah gubernur.
Selama ini gubernur pun tidak memiliki kuasa memberi sanksi manakala dalam rapat-rapat tertentu bupati/wali kota tidak hadir. Gubernur tidak bisa menggunakan politik anggaran -- istilah yang dulu dipopulerkan Joko Widodo saat debat calon presiden, karena praktis semua dana bantuan dari pusat baik Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan dana perimbangan lainnya, langsung ditransfer pemerintah pusat ke pemerintah tingkat II, tidak melalui tingkat I. Dengan demikian, gubernur tidak bisa memainkan, semisal menahan sementara, dengan tujuan untuk menekan bupati/wali kota agar patuh terhadap pemerintah provinsi.
Lalu apa kaitannya dengan Meikarta Lippo Cikarang, kota mandiri yang diklaim terbesar di Asia Tenggara lengkap dengan segala fasilitasnya, termasuk sarana pendidikan? Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar meminta agar pembangunan proyek Meikarta dihentikan karena tidak memiliki izin. Calon gubernur jagoan PKS-Gerindra ini mendasarkan perintahnya pada Perda Jabar No.12/2014 tentang Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan. Sesuai perda tersebut maka pengembangan suatu kawasan di kabupaten/kota yang menjadi bagian metropolitan harus mendapat rekomendasi pemerintah provinsi.
Dan Bekasi merupakan bagian dari kota metropolitan di Jabar bersama Bogor. Depok, Karawang dan Purwakarta. Jika demikian maka jelas dan tegas proyek Meikarta melanggar aturan karena dibangun tanpa izin dari pemerintah provinsi, melainkan hanya dari Pemda Bekasi. Padahal proyek raksasa tersebut sudah dipasarkan, diiklankan. Tudingan adanya upaya politisasi Meikarta mulai terdengar. Mendagri Tjahjo Kumolo yang notabene kader PDIP, pun gusar.
Benarkah pernyataan Deddy Mizwar? Tunggu dulu! Mari kita lihat fakta lainnya. Perda 12 baru "diundangkan" tiga tahun lalu sementara rencana pembangunan kota mandiri sudah digagas dan dimulai sejak 30 tahun lalu! Hal itu mengacu pada izin prinsip yang dikantongi Lippo Group sebagaimana dikatakan CEO Meikarta Ketut Budi Wijaya di sini. Benar bahwa dulu izin untuk Orange County hanya untuk 350 hektar. Tetapi setelah pengembangan untuk proyek Meikarta, lahan yang digunakan mencapai 500 ha. Tetapi total luas lahan miliki Lippo Group di daerah Bekasi yang telah memiliki izin prinsip adalah 3.250 ha, termasuk 500 ha yang dipakai untuk Orange County dan Meikarta.
Jadi klaim Deddy Mizwar tidak sepenuhnya benar. Penghentian iklan Meikarta yang diputus Ombudsman RI karena dianggap melanggar pasal 42 Ayat 2 UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun menjadi bias karena dasarnya masih sumir sebagaimana diuraikan di atas. Bukankah pengelola Meikarta sudah mengantoingi kepastian peruntukan ruang, kapasitas, hak atas tanah, kepastian status penguasaan rumah susun, perizinan pembangunan rumah susun dan jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin sebagaimana ketentuan pasal tersebut?
Kasus Meikarta menjadi catatan tersendiri karena beberapa hal. Pertama, kebijakan Pemerintah Provinsi Jabar terkait penetapan kota-kota yang disebut metropolis sehingga mengharuskan adanya izin dari provinsi untuk setiap pengembangan kawasan, harus diuji kembali apakah bertentang dengan semangat otda atau tidak. Sebab dengan adanya Perda No. 20/2011, wilayah kabupeten/kota yang dijadikan objek, secara tidak langsung dikuasai kembali oleh pemerintah provinsi. Padahal sesuai UU Otda, sebagaimana juga ditegaskan Tjahjo, kewenangan memberikan izin kepada pengembang berada di tangan bupati/wali kota.
Kedua, meski izin untuk pengembangan daerah metropolitan Jabat tetap di tangan pemerintah daerah setempat karena tidak lintas batas antar kabupaten/kota, tetapi keharusan ada rekomendasi dari pemerintah provinsi tetap saja seperti mengambilah-alih kewenangan kabupaten/kota dan memperpanjang rentang birokrasi di tengah semangat penyederhanaan perizinan untuk menggairahkan dunia usaha.
Ketiga, meski mendukung adanya kepatuhan bupati/wali kota kepada gubernur agar terjalin hubungan yang harmonis di daerah, namun pengambilan kembali kewenangan bupati/wali kota dalam mengelola daerahnya, dengan dalih apa pun mencederai semangat otda.