Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

5 Alasan Jokowi Bukan Diktator

10 Agustus 2017   13:03 Diperbarui: 11 Agustus 2017   18:15 2509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ternyata Presiden Joko Widodo sangat terganggu dengan kritik yang menyebut dirinya diktator. Apalagi kritik itu secara eksplisit juga dilontarkan oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam beberapa kesempatan Jokowi mengulang pernyataannya dirinya bukan diktator. Benarkah?

Ada 5 indikator mengapa Jokowi bukan pemimpin diktator. Pertama, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, diktator adalah kepala pemerintahan yang mempunyai kekuasaan mutlak, biasanya diperoleh melalui kekerasan atau dengan cara yang tidak demokratis. Jika mengacu pada pemahaman tersebut, maka tudingan Jokowi diktator dengan sendirinya gugur karena jabatan kepresidenan yang diembannya saat ini diperoleh melalui pemilihan umum yang terbuka dan demokratis.

Kedua, lembaga-lembaga negara yang merupakan pilar demokrasi seperti DPR dan MPR masih eksis dan bahkan terkadang menjadi rival Presiden. Dalam negara yang dikuasai pemimpin diktator, biasanya lembaga perwakilan rakyat hanya menjadi tukang stempel kebijakan pemerintah.

Ketiga, kemerdekaan kekuasaan yudikatif. Banyak kasus pemerintah yang kalah di pengadilan. Artinya, lembaga peradilan tidak tunduk pada kemauan eksekutif. Selama lembaga hukum masih tegak dan memiliki kekuasaan mutlak, dijamin di situ masih ada demokrasi.

Keempat, kebebasan pers dan suara masyarakat. Tidak ada lagi pemberangusan terhadap media massa yang berbeda pandangan atau bahkan menyerang kebijakan pemerintah. Kelima, militer masih tetap berada di barak. Dalam rezim totaliter, kekuatan militer selalu digunakan untuk menopang kekuasaan.

Dari 5 alasan tersebut, tidak salah ketika Presiden Jokowi mengulang-ulang bantahan dirinya bukan diktator, termasuk saat membuka Pasanggiri dan Kejuaraan Pencak Silat Nasional di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur.  Jokowi bahkan mempertanyakan perubahan penilaian publik terhadap dirinya yang awalnya menyebut klemar-klemer menjadi diktator. "Masa wajah saya kayak gini wajah diktator," canda Jokowi saat menyuruh peserta maju untuk mengikuti kuis.

Meski saat ini Presiden Jokowi bukan seorang diktator, tetapi tidak berlebihan juga manakala ada penilaian berbeda dari sebagian masyarakat. Ada beberapa kejadian dan kebijakan pemerintah yang berpotensi menjadi bibit-bibit kediktatorannya.

Pertama tentu terkait penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2017  tentang Ormas. Penghilangan keharusan pembubaran ormas melalui pengadilan, perlu diwaspadai. Jangan sampai hal ini menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk memberangus hak berkumpul dan berserikat masyarakat yang dijamin oleh UUD 1945. Pemerintah tidak boleh menjadi pemegang tunggal kebenaran sehingga menafikan, bahkan menyingkirkan, orang atau ormas yang berbeda pilihan, berbeda pendapat terkait satu-dua isu.

Kedua, penangkapan terhadap 12 orang pelaku hate speech dalam 2 bulan terakhir, yang secara spesifik menyerang kehormatan Presiden Jokowi. Ujaran kebencian dan bully di luar batas terhadap terhadap tokoh-tokoh lain di luar kekuasaan, juga sangat marak. Apakah polisi sudah menangkapi mereka, seperti para pelaku hate speech terhadap Presiden? Jika tidak, jangan salahkan publik yang menilai kepolisian hanya alat kekuasaan, bukan pengayom dan pelindung masyarakat.

Ketiga, kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh yang berseberangan dengan pemerintah. Meski harus dibuktikan apakah orang-orang seperti Amien Rais yang sempat disebut menerima aliran dana korupsi, Rizieq Shihab yang menjadi tersangka chat mesum dan Harry Tanoe dengan kasus SMS ancaman terhadap Jaksa Yulianto,  bentuk kriminalisasi ataukah memang demikian faktanya, namun yang pasti kasus ini sudah dijadikan alas pembenar oleh mereka yang menuding Jokowi diktator.

Diktator tidak mengenal wajah. Tidak semua diktator berwajah bengis. Kita baru benar-benar akan tahu apakah Presiden Jokowi seorang diktator atau bukan, dari kebijakan yang sudah dan akan dibuat serta bagaimana cara mempertahankan kekuasaannya.

salam @yb

Tulisan ini juga dipublikasikan di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun