Konstelasi politik di Jawa Barat kembali memanas usai pertemuan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, beberapa waktu lalu. Kekuatan politik terpolarisasi pada 2 figur: Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar dan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Sementara Ridwal Kamil terancam hanya menjadi penonton pada pilgub di Tanah Pasundan tersebut.
Koalisi empat partai penolak RUU Pemilu yakni Gerindra, PKS, Demokrat dan PAN untuk mengusung Demiz -- sapaan Deddy Mizwar, sebagai calon gubernur tinggal ketok palu. Satu-satunya ganjalan yang masih mungkin mengubah jalinan koalisi gemuk tersebut adalah nama calon pendamping Demiz. Mereka masih mempertahankan kader masing-masing mengingat Demiz bukan kader partai manapun. Hanya saja PKS dan Gerindra tidak terlalu ngotot karena mereka memiliki kedekatan emosional dengan Demiz. Bahkan jika komunikasi buntu, posisi calon wakil Demiz akan diserahkan kepada Demokrat dan PAN.
Jaminan perahu untuk maju Pilgub Jabar juga sudah dikantongi Dedi Mulyadi. Selain Golkar yang sudah mendeklarasikan jauh hari sebelumnya, Dedi juga akan mendapat dukungan PKB dan kemungkinan besar Partai Hanura. Posisi Dedi semakin kuat setelah Sekretaris PDIP Hasto Kristiyanto memastikan partainya tidak akan mengusung Ridwal Kamil.
Mengingat minimnya calon yang mendaftar pada penjaringan bakal calon gubernur dan wakil gubernur Jabar, satu-satunya partai yang bisa mengusung calon tanpa koalisi itu tidak memiliki banyak pilihan. Meski Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri memiliki hak prerogatif untuk menugaskan siapa pun, termasuk dari luar kandang banteng, tetapi sulit bagi PDIP untuk mendapatkan figur yang tepat. Jika memaksakan nama Puti Guntur Soekarno, PDIP bisa kehilangan pamor seperti pada Pilgub DKI dan Banten.
Kondisi internal PDIP tersebut dibaca oleh kubu Dedi Mulyadi. Dalam beberapa hari terakhir petinggi Partai Golkar sibuk melakukan komunikasi dengan pengurus PDIP. Acara aqiqah anak Sekjen Partai Golkar Idrus Marhan pun menjadi "panggung politik" ketika Hasto memastikan PDIP tidak akan mengusung Ridwan Kamil dengan alasan yang bersangkutan sudah mendeklarasikan pencalonannya tanpa terlebih dahulu menggandeng PDIP. Bagaimana pun Ridwan Kamil bukanlah Basuki Tjahaja Purnama yang bisa mendapatkan perahu PDIP tanpa mengikuti mekanisme partai.
Peluang Dedi mendapatkan dukungan PDIP sudah terbuka. Untuk mengambil hati Megawati, Golkar pun menyiapkan strategi jitu. Dedi dan para pengurus Golkar lainnya menempatkan PDIP sebagai partai pengusung utama meski yang diusung jelas-jelas kader- bahkan ketua DPD Partai Golkar Jabar! PDIP juga diberi kesempatan untuk menyetor nama calon wakil gubernur. Golkar pernah melakukan hal itu di Pilgub DKI di mana PDIP yang datang terakhir justru menjadi pengusung utama pasangan Ahok-Djarot Saiful Hidayat.Â
Gayung bersambut. Hasto sudah menyebut tiga nama kader PDIP yang akan dipilih untuk mendampingi Dedi yakni Puti, Bupati Majalengka Sutrisno dan Ketua DPD PDIP Jabar Tubagus Hasanudin. Meski demikian, sejatinya PDIP juga memiliki kepentingan sendiri ketika akhirnya mengusung Dedi Mulyadi. Selain sepinya peminat, para petinggi PDIP tidak lagi berani pasang target tinggi setelah kekalahan beruntun di daerah-daerah strategis.Â
Jika sampai kalah lagi di Jabar, apalagi Jawa tengah, sementara Jawa Timur sudah dikavling  PKB- maka kekalahan PDIP di Pemilu 2019 sudah bisa dipastikan. Meski mungkin tidak akan berlanjut ke pemilihan presiden, tetapi PDIP tidak lagi menjadi kekuatan sentral di DPR. Bangunan koalisi pemerintah juga akan berubah mengikuti peta kekuatan di parlemen. Dari hitung-hitungan tersebut, bisa dipahami ketika akhirnya PDIP tidak mengusung kadernya sebagai cagub di Pilkada Jabar.
Pertarungan antara Demiz yang diusung koalisi Gerindra-PKS, Demokrat-PAN melawan Dedi Mulyadi didukung Golkar-PDIP-PKB dan Hanura ibarat memindahkan medan tempur DKI ke Bandung. Polarisasi antara kubu agama dan nasionalis bakal menemukan medan yang ideal, meski sejarah lebih memihak kubu agama. Warga Pasundan terkenal religius dan sejak reformasi sebagian wilayahnya, terutama daerah bagian Barat dan Selatan seperti Depok, Bogor, Sukabumi hingga Cianjur menjadi basis PKS. Kemenangan PDIP di Jabar pada Pemilu 2014 hanya "kebetulan" karena munculnya sosok fenomenal Joko Widodo.
Dedi membutuhkan dukungan massa PDIP untuk melawan isu-isu berbau agama yang akan menjadi amunisi pendukung Demiz. Apalagi sejak lama Dedi sudah bermusuhan dengan kelompok-kelompok Islam puritan yang dikomandoi FPI. Upaya Dedi untuk mengangkat kembali kazanah budaya Sunda dengan menghadirkan patung dan kesenian lain, dianggap sebagai bentuk kekufuran. Bukan hanya mengecam, ada juga yang merobohkan dan membakar patung-patung yang hendak dijadikan landmark Kabupaten Purwakarta tersebut. jika mendapat dukungan PDIP, maka Dedi bisa lebih leluasa masuk ke basis-basis kaum nasionalis yang sebagian besar merupakan penganut Sunda Wiwitan.
Bagaimana jika PDIP berubah haluan dan mengusung calon sendiri? Siapa pun pendampingnya, Demiz akan memenangi PIlgub Jabar, bahkan mungkin hanya dalam satu putaran. Di sini butuh kearifan Megawati agar tidak "mengobral" hak prerogatif. Megawati harus berani memberikan kesempatan kepada para pembantunya untuk mulai menjadi politisi sejati, bukan sebatas pekerja politik.