Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kabupaten Pamekasan Jawa Timur, bukan sekedar operasi biasa. Ada pesan tersembunyi yang hendak disampaikan KPK kepada berbagai pihak. Siapa yang disasar KPK?
Sejak KPK di bawah kepemimpinan Agus Rahardjo, banyak OTT di daerah yang nilainya di bawah Rp 1 miliar. Padahal sesuai UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK hanya diperbolehkan menangani kasus korupsi yang memiliki nilai kerugian negara minimal Rp 1 miliar. Persoalan terkait besaran uang korupsi pertama kali mencuat saat KPK di bawah kepemimpinan Abraham Samad membongkar kasus suap kuota impor daging sapi yang melibatkan Presiden PKS (saat itu) Luthfi Hasan Ishaaq. Demikian juga saat KPK hendak menangani kasus gratifikasi mobil Toyota Harrier kepada Ketua Umum Partai Demokrat (saat itu) Anas Urbaningrum karena harganya di bawah Rp 1 miliar.
Protes tidak hanya diserukan para politisi yang menjadi korban OTT KPK di bawah Rp 1 miliar, namun juga lembaga penegak hukum lain, seperti Kejaksaan. Bahkan mereka dengan provokatif mencibir OTT KPK tersebut dengan sebutan OTT recehan setelah KPK menangkap Kepala Seksi III Intel Kejaksaan Tinggi Bengkulu Parlin Purba bersama  Kepala Seksi III Intel Kejaksaan Tinggi Bengkulu, Parlin Purba, pejabat pembuat komitmen (PPK) pada Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) VII Provinsi Bengkulu, Amin Anwari, dan Direktur PT Mukomuko Putra Selatan Manjudo Murni Suhardi. Dalam OTT tersebut KPK mengamankan uang sebesar Ro 10 juta.
Para politisi yang tergabung dalam Pansus Hak Angket untuk menyelidiki KPK dan tim perumus revisi UU KPK di DPR juga mulai menyuarakan penolakan terhadap OTT recehan KPK. Bahkan sejumlah politisi sudah mewacanakan untuk menaikkan nilai minimal kerugian negara yang bisa ditangani KPK dari Rp 1 miliar menjadi Rp 5 miliar.
Wacana lain yang berpotensi "mengancam" eksistensi KPK adalah pembentukan detasemen khusus (Densus) Antikorupsi atau Tipikor yang digagas Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Kapolri menjamin Densus Tipikor tidak akan melemahkan atau berbenturan dengan KPK karena fokus pada penanganan korupsi "recehan"
Bukannya berhenti, KPK justru mengencarkan OTT di sejumlah daerah dengan nilai kerugian negara di bawah Rp 1 miliar, bahkan nyaris tidak ada kerugian negara seperti dalam kasus OTT pimpinan DPRD Mojokerto Jawa Timur. Uang yang diamankan senilai Rp 400 juta merupakan sumbangan sejumlah pihak untuk dana tunjangan hari raya DPRD setempat.
Terbaru, KPK menangkap Agus Mulyadi, Kepala Desa Dassok, yang telah menyuap Kajari Pamekasan Rudy Indra Prasetya senilai Rp 250 juta. Tujuannya agar Kejari setempat tidak mengusut kasus proyek senilai Rp 100 juta di Desa Dassok. Mirisnya, suap tersebut dikoordinir oleh Bupati Pamekasan Achmad Syafii beserta jajarannya seperti Kepala Inspektorat Pamekasan Sutjipto Utomo dan Kabag Administrasi Inspektur Pamekasan Noer Solehhoddin sehingga ketiganya ikut ditetapkan sebagai tersangka.
Sulit untuk menghindari kesan aksi OTT Pamekasan bernilai recehan murni penegakan hukum, meski saat masih menjabat sebagai juru bicara KPK, Johan Budi pernah mengatakan batasan Rp 1 miliar hanya untuk kasus yang mengakibatkan kerugian negara sehingga tidak berlaku pada kasus suap terhadap penyelenggara negara atau penegak hukum. Bahkan suap Rp 10 juta pun bisa ditangani KPK asal penerima penyelenggaran negara atau penegak hukum.
Sepertinya pada OTT Pamekasan, KPK tengah mengirim sinyal kepada pihak-pihak yang mempersoalkan OTT di bawah Rp 1 miliar. Setidaknya ada empat pesan tersembunyi di balik OTT Pamekasan.
Pertama, korupsi bukan hanya terjadi di level elit pemerintahan namun sudah menjalar hingga ke lembaga pemerintahan terbawah yakni kelurahan/desa. Kasus OTT Pamekasan berawal dari laporan LSM terkait dugaan penyimpangan penggunaan dana desa senilai Rp 10 juta. Dengan adanya OOT Pamekasan, pengelolaan dana desa diharapkan dapat lebih transparan karena KPK ikut mengawasi.
Kedua, OTT Pamekesan mematahkan opini kepolisian yang bernafsu membentuk Densus Tipikor dengan alasan KPK tidak bisa menjangkau kasus kecil karena keterbatasan personel yang menurut perkiraan Kapolri, KPK hanya memiliki 1000 pegawai dan 150 penyidik. Lontaran bahwa penyidik Kepolisian dan Kejaksaan tidak kalah handal dibanding penyidik KPK, terpatahkan dalam OTT Pamekasan. Jika Kepolisian, juga Kejasaaan, memiliki personel anti korupsi yang handal, di mana mereka saat terjadi suap di DPRD Mojokerto, di Bengkulu, di Pamekasan, juga di Klaten, dll? Alasan keterbatasan anggaran hanya ekspresi kecemburuan pada KPK yang konon memiliki dana operasional sangat besar. Bukankah Kepolisian dan Kejaksaan memiliki jaringan luas hingga ke pelosok sehingga untuk menangani kasus-kasus di daerah tidak memerlukan dana besar?