Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memahami Akrobatik Politik Harry Tanoe

3 Agustus 2017   15:56 Diperbarui: 4 Agustus 2017   11:00 6135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Umum Partai Gerindra bersama Harry Tanoe dalam sebuah acara. Foto: TRIBUNNEWS/DANY PERMANA

Tidak sulit memahami taktik politik Ketua Umum Perindo Harry Tanoesoedibjo. Tidak seperti feeling bisnisnya yang mumpuni sehingga bisa menumpuk kekayaan sampai Rp 15 triliun, taktik politik Harry Tanoe sangat minim. Politik hanya dimaknai sebagai jalan untuk meraih kekuasaan- dalam artian luas, bagaimana pun caranya. Tidak heran jika politik di tangan Harry Tanoe akhirnya hanya menjadi alat tukar, ajang bisnis- bukan bagian dari perjuangan ideologi apalagi kemaslahatan rakyat.

Idealnya seseorang bergabung dengan partai politik untuk memperjuangkan ideologi politik yang diyakini. Mengingat antara satu partai politik dengan partai politik lainnya memiliki ideologi dan cita-cita perjuangan yang berbeda-beda, maka sangat penting memahaminya sebelum memutus bergabung dengan salah satunya. Setelah berada di dalam, menjadi anggota, atau bahkan mungkin pengurus, mestinya dia berjuang agar partainya menjadi pemenang kontestasi demokrasi. Setelah memegang kekuasaan, cita-citanya atau ideologinya, lantas bisa diimplementasikan dalam sebuah kebijakan publik.

Perjuangan tentu tidak mengenal waktu, meski semua politisi ingin secepatnya mewujudkan apa yang dicita-citakan. Di situlah seni sesungguhnya dari permainan politik. Kesabaran untuk menanamkan dan mempengaruhi pola pikir- persepsi publik, agar sejalan dan setuju dengan cita-cita politiknya, tidak bisa dilakukan dalam sekejap, apalagi dengan guyuran uang dan jargon kosong.

Politik juga juga butuh momentum. Itu sebabnya kemenangan politik seseorang atau sebuah partai, seringkali dipengaruhi oleh ketepatan dalam mengemas isu. Momentum bisa terjadi secara alamiah, namun bisa juga diciptakan. Namun hanya politisi handal yang bisa meracik sebuah momentum yang menguntungkan kepentingannya.

Bagaimana dengan Harry Tanoe? Bos MNC Group ini bukan tipe politisi yang ideal karena tidak memiliki basis perjuangan yang jelas sebagai wadah pengumpul massa, sehingga dengan mudah keluar-masuk partai. Diawali dengan Partai Nasdem, Harry Tanoe lantas melompat ke Partai Hanura besutan Wiranto sebelum kemudian mendirikan Partai Perindo. Keanggotaan di Nasdem dan Hanura tidak lebih dari 2 tahun. Hal itu menunjukkan adanya kepentingan pragmatis seorang Harry Tanoe yang gagal digapai sehingga dengan mudah hengkang. Tidak ada pembenaran untuk politisi yang gampang lompat partai, meski mungkin menimbulkan simpati publik karena dikemas dengan melodrama.

Citra itu semakin menguat setelah Harry Tanoe- setidaknya seperti yang dikatakan Sekjen Perindo Ahmad Rofiq, menyatakan tidak akan maju sebagai capres tetapi justru berbalik mendukung Jokowi. Perubahan sikap Perindo (baca: Harry Tanoe) dari oposisi ke kubu pemerintah, sulit dibenarkan karena aroma kepentingan pribadi -- nirideologi, sangat kental. Alasan-alasan lain- seperti keberhasilan pemerintahan Jokowi, yang kemudian diblow-up, tidak akan bisa mengalahkan isu adanya barter dukungan dengan kasus hukum yang tengah membelitnya. Seperti diketahui saat ini Harry Tanoe telah menjadi tersangka kasus dugaan ancaman melalui SMS kepada Jaksa Yulianto- yang saat itu tengah menangani dugaan korupsi restitusi pajak yang diduga melibatkan perusahaan Harry Tanoe.

Dengan demikian, wacana dukungan Perindo kepada Jokowi sangat mungkin berubah. Bukan karena baru akan diputuskan pada Rapimnas Perindo akhir tahun ini yang waktunya masih lama, tetapi juga karena sikap akrobatik Harry Tanoe sendiri. Jika dirinya terbebas dari jerat hukum, semisal polisi menghentikan penyidikan kasusnya, sangat mungkin wacana itu akan benar-benar direalisasikan. Tetapi jika terjadi sebaliknya, maka bukan hal yang mengejutkan jika Harry Tanoe menarik kembali wacana dukungan tersebut. Dari kasus sini, kecurigaan bahwa Harry Tanoe mendirikan Perindo bukan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat, kepentingan bangsa dan negara- seolah menemukan kebenarannya. 

salam @yb

Note: Artikel senada dimuat di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun