Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tiap Penduduk Indonesia Tanggung Utang Rp 14,4 Juta

29 Juli 2017   09:02 Diperbarui: 1 Agustus 2017   10:46 3916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani saat sosialisasi program tax amnesty. Foto: solopos.com

Miris! Lonjakan utang di era Presiden Jokowi sangat fantastis. Selama 2,5 tahun berkuasa Jokowi sudah menambah utang sebesar 1.040 trilun. Kini total utang Indonesia per Juni 2017 sebesar Rp 3.706, 53 triliun. Jika dibagi rata dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 257 juta jiwa, maka setiap orang menanggung utang sebesar Rp 14,420 juta.

Menko Perekonomian Darmin Nasution mengakui pertumbuhan utang saat ini sangat cepat. Meski demikian Damin menilai utang tersebut secara rasio terhadap produk domestik bruto (PDB) masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan negara-negara lain.

Hal senada dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Menurut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, utang tersebut untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan investasi sumber daya manusia yang sudah sangat mendesak sehingga tidak bisa ditunda.

Utang yang sangat besar tentunya membebani postur APBN karena harus menyisihkan sebagian untuk membayar cicilan dan bunga. Bahkan pada tahun 2019 mendatang, pemerintah harus mengalokasikan hingga Rp 326 triliun hanya untuk membayar utang yang jatuh tempo plus bunganya. Jika pun dipaksa tanpa ada pemangkasan anggaran utuk pembangunan dan belanja negara, berarti pemerintah harus mencari utang baru yang nilainya semakin besar. Dengan alasan apapun, utang untuk menutup utang alias gali lubang tutup lubang bukan hal yang menyenangkan sebagaimana dikatakan Sri Mulyani.

Memang tidak selamanya utang negara berkonotasi buruk sepanjang digunakan untuk pembangunan, baik SDM maupun infrastruktur. Tetapi jor-joran utang tanpa mempertimbangkan faktor psikologis masyarakat juga tidak baik. Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat yang merasa "terganggu" dengan tumpukan negara karena beranggapan utang tersebut sebagai beban rakyat.

Anggapan bahwa utang menjadi tolok ukur citra positif suatu negara (sehingga masih dipercaya oleh pemberi utang), juga tidak sepenuhnya benar. Buktinya, negara-negara yang ekonominya tengah terpuruk, termasuk Indonesia di tahun 1998, juga tetap bisa mendapat utangan. Banyak pemberi utang yang menutup mata pada hal itu karena memburu rente yang tinggi dan kompensasi politik yang menggiurkan. Bukankah setelah mengucurkan bantuan di tahun 1998, IMF kemudian ikut mengatur kebijakan perekonomian Indonesia? Kita tentu tidak ingin hal itu tidak akan terulang lagi karena merendahkan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat.

Utang yang tinggi akan menjadi negative campaign bagi Presiden Jokowi menjelang Pilpres 2019. Bahkan isu ini bisa mengalahkan positive campaign berupa capaian hasil pembangunan. Apalagi saat kampanye pilpres, Jokowi tegas menolak uang pinjaman sebagai modal pembangunan. Jokowi berjanji akan membiayai pembangunan nasional tidak dengan utang melainkan memaksimalkan pendapatan negara. Dua hal kontradiktif ini menjadi sasaran empuk lawan-lawan politiknya.

Sudah saatnya Presiden dan jajaran kabinetnya, terutama di bidang ekonomi, memikirkan langkah-langkah strategis untuk mengurangi utang, minimal tidak menambah lagi, tanpa harus mengorbankan visi dan misi pemerintah. Namun juga tidak menggunakan cara-cara pintas semisal pencabutan subsidi karena saat ini subsidi dalam bentuk apa pun, baik energi, pendidikan dan kesehatan sudah banyak yang dicabut. Sebagai gambaran, tahun 2015 saja pemerintah sudah mencabut subsidi di bidang energi sebesar Rp 206,9 triliun. Jika subsidi yang masih tersisa saat ini juga dicabut demi menambal APBN, Jokowi akan terjungkal di Pilpres 2019.

Masih banyak sektor yang bisa digenjot untuk menambah pendapatan negara. Setelah program tax amnesty berakhir, petugas pajak harus lebih galak mengejar para penunggak pajak dan pemilik uang yang tersimpan di luar negeri. Jangan hanya rakyat kecil yang dikejar-kejar dan dipaksa berkorban untuk negara, tetapi permisif terhadap penunggak pajak bernilai miliaran hingga triliunan seperti perusahaan-perusahaan penambang. Ayo kerja, kabinet!

salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun