Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Hitung Mundur Kehancuran PDIP di Tanah Jawa

14 Mei 2017   17:24 Diperbarui: 26 Agustus 2017   03:20 16680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi partai pemenang pemilu dan sukses mengantarkan kadernya sebagai presiden, bukan jaminan bagi jagoan PDI Perjuangan untuk memenangkan pilkada. Setelah kehilangan Banten dan DKI Jakarta, partai besutan Megawati Soekarnoputri itu kini terancam gagal lagi mendapatkan Jawa Barat dan Jawa Timur. Mirisnya, dominasi PDIP di Jawa Tengah pun luntur. Hitung mundur kehancuran PDIP di Pulau Jawa sudah dimulai.

Setelah menggenggam Banten, Jakarta dan Jateng, mestinya kemenangan Pemilu dan Pilpres 2014 mempermudah PDIP untuk menguasai dua provinsi tersisa yakni Jabar dan Jatim. Tetapi pada Pilkada 2017 secara tragis PDIP justru kehilangan Banten dan Jakarta. Disebut tragis karena PDIP sempat mengklaim kemenangan di dua daerah ini.

PDIP semakin terpuruk dengan kegagalan merebut kepemimpinan politik di Kota Yogyakarta. Padahal posisi Wali Kota Yogyakarta sangat stategis karena jabatan setingkat gubernur dan wakil gubernur DIY tidak dipilih oleh rakyat. Jabatan tersebut bersifat ex officio di mana Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualaman otomatis menjadi gubernur dan wakil gubernur Provinsi DIY.  

Pilkada serentak tahun 2018 akan menjadi ajang pembuktian apakah kemenangan PDIP pada pemilu lalu murni kinerja partai atau karena pengaruh aspirasi yang menghendaki agar PDIP mencalonkan Joko Widodo sebagai presiden. Sebab, meski nama Presiden Jokowi masih laku untuk dijual di Pilkada 2018, tetapi gaungnya tidak sedasyat 2014. Terlebih saat ini masyarakat tidak lagi melihat  PDIP sebagai representasi Jokowi, dan berlaku sebaliknya. Kuatnya dominasi Megawati- antara lain dengan selalu mengecilkan Jokowi dengan sebutan petugas partai, membuat gerah pendukung Jokowi non PDIP.

Pendukung Jokowi di Jabar, Jateng dan Jatim tidak secara otomatis menjadi pemilih calon yang diusung PDIP. Demikian juga pendukung Basuki Tjahaja Purnama yang pada Pemilu 2014 memilih PDIP. Meski terlalu spekulatif, tetapi kemungkinan hengkangnya pendukung Ahok karena gerah dengan hasil pilkada Jakarta dan putusan pengadilan. Dengan hilangnya dua vote gettertersebut, bagi PDIP pertarungan pilgub di tiga daerah di Jawa murni ditentukan oleh kinerja mesin partai, ketokohan dan visi-misi calon yang diusungnya.

Kondisi berbeda terjadi di Partai Gerindra yang dipastikan akan menjadi lawan tangguh PDIP- tanpa bermaksud mengecilkan peluang terjadinya koalisi tingkat lokal di antara kedua partai, meski peta saat ini menunjukkan keduanya berada pada posisi berseberangan. Calon yang diusung Gerindra mendapat suntikan suara dari pendukung Prabowo Subianto. Mereka yang masih bermimpi mantan menantu Soeharto itu menjadi presdien, dengan sukarela akan memberikan suaranya untuk calon yang diusung Gerindra.

Posisi Gerindra semakin diuntungkan dengan sikap politik Partai Keadilan Sejahetra (PKS). Di bawah kepemimpinan Sohibul Iman, PKS setia pada komitmen yang dibangun saat Koalisi Merah Putih masih berjaya. Untuk mengimplementasikannya, PKS tidak ngotot mencalonkan kadernya pada kontenstasi pilkada sehingga ketika keduanya berkoalisi, kendali ada di tangan Gerindra. Sepintas hal itu merugikan PKS, seperti pada Pilkada Jakarta. Tetapi untuk jangka panjang, tidaklah begitu. Kader-kader PKS akan lebih leluasa bergerak di daerah-daerah yang dimenangkan. Hal ini juga sesuai dengan kebijakan Sohibul untuk menarik PKS dari polemik nasional. Kader-kader PKS tidak segarang dulu dalam mengomentari kebijakan pemerintah. Itu sebabnya mengapa Fahri Hamzah yang masih tetap saja dengan “mulut comberannya” dikeluarkan dari PKS. Dampak kebijakan Sohibul Iman, kini para politisi PKS terlepas dari sorotan publik. Kader-kader PKS di bawah pun bisa lebih leluasa membangun basis. Mereka bisa diterima oleh semua kalangan tanpa tidak dikaitkan dengan isu-isu panas terkini. Kecaman publik, bahkan pengusiran terhadap Fahri Hamzah menjadi blessing in disguise bagi PKS karena berarti pemecatan wakil ketua DPR itu sudah sesuai dengan “aspirasi masyarakat”.

Tidak salah jika menyebut duet Gerindra – PKS menjadi momok bagi PDIP dan juga partai lain, khususnya untuk pilgub 2018 di tiga daerah di tanah Jawa. PDIP akan kembali terpuruk di Jabar jika masih mengedepankan ego sebagai partai pemenang pemilu. PDIP tidak memiliki kader mumpuni untuk bertarung memperebutkan Jabar 1. Nama-nama Tb Hasanudin, Teten Masduki, Rieke Diah Pitaloka bukan lawan sepadan Deddy Mizwar – Netty Prasetiyani/Ahmad Syaikhu.yang akan diusung Gerindra - PKS. Bahkan elektabilitas mereka masih jauh di bawah jagoan Golkar yang juga Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi.

PDIP bisa saja mengusung kader lainnya. Tetapi dari semua nama yang beredar, tidak ada satu pun  yang memiliki basis pendukung militan. Jika akhirnya PDIP mengusung Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, bukan saja kans untuk menang sangat tipis, tetapi juga mengulang blunder politik. Ridwan Kamil hanya populer di media sosial sebagaimana petahana yang diusung PDIP di daerah-daerah lain.

Untuk Jabar, lebih realistis jika PDIP membangun komunikasi dengan Golkar. PDIP tinggal mendukung Dedi Mulyadi dengan opsi wakilnya dari kandang banteng. Meski kader Golkar, sosok Dedi Mulyadi sangat dekat dengan ideologi PDIP. Dedi Mulyadi berani pasang badan terhadap kelompok-kelompok yang berseberangan visinya untuk melestarikan budaya Sunda. Tidak heran jika Dedi Mulyadi muncul menjadi tokoh Sunda dalam arti sebenarnya. Baru sekarang ini ada pejabat di Bumi Sangkuriang yang berani “menghadirkan” Nyai Ratu Kidul- sosok gaib penguasa Laut Selatan, pada acara resmi. Simbolisasi yang dilakukan Dedi Mulyadi tak pelak menarik perhatian urang Sunda wiwitan. Jika mampu dikelola dengan baik bukan mustahil perhatian itu mengkristal menjadi dukungan yang sangat dasyat.

Namun tampaknya PDIP akan mengambil jalan puputan demi mempertahankan ego sebagai partai pemenang dan satu-satunya yang bisa mengusung pasangan calon tanpa koalisi. Jika PDIP mengusung Ridwan Kamil, maka hal itu akan menguntungkan Dedi Mulyadi karena suara Islam “militan” terpecah. Sebaliknya, jika PDIP mengusung kader sendiri, semisal Rieke Diah Pitaloka, maka Deddy Mizwar yang akan mengambil keuntungan akibat terbelahnya suara Sunda ”tradisional”.

Hal yang sama akan terjadi jika PDIP kembali mengusung Ganjar Pranowo. Meski berstatus petahana, Ganjar bukan calon favorit masyarakat Jateng. Selama dipegang Ganjar, pembangunan di Jateng nyaris stagnan. Tidak ada gebrakan yang signifikan. Gaya blusukan Ganjar tidak seefektif Jokowi. Aksi “koboi” yang sempat dipertontonkan beberapa waktu lalu saat sidak ke jembatan timbang, bukan hanya tidak meraih simpati masyarakat, tetapi justru menjadi cibiran. Demikian juga aksi tidur meringkuk di lantai kereta api. Belum lagi kebijakan terkait izin pembangunan pabrik semen di Kabupaten Rembang yang menuai polemik berkepanjangan.

PDIP masih memiliki kader-kader lain yang mumpuni seperti Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Bupati Kudus Musthofa yang sudah dideklarasikan oleh simpatisannya, atau bahkan Ketua PDIP Jawa Tengah Bambang Wuryanto. Tetapi PDIP menyadari situasi politik saat ini sangat tidak menguntungkan PDIP. Hal ini bisa ditangkap dari pernyataan Bambang Wuryanto yang tidak mengharamkan kemungkinan PDIP mengusung calon non kader. Pernyataan yang sangat luar biasa mengingat Jateng, sebagaimana Bali adalah kandang PDIP.  

Andai benar PDIP akhirnya mengusung non kader di Pilgub Jateng, maka hal itu bukan hanya pengakuan kekalahan sebelum bertanding, tetapi juga lonceng kehancuran yang ditabuh terlalu dini. Jika di kandang sendiri saja gagal menempatkan kadernya di pucuk pimpinan daerah, bagaimana di Jatim yang belum pernah dikuasai? Tri Rismaharini belum cukup kuat untuk mendobrak dominasi PKB. Risma hanya mungkin menang jika dipasangkan dengan kader PKB atau ulama NU kharismatik.

Dari paparan di atas Megawati harus segera melakukan konsolidasi untuk memanaskan mesin partai sebelum semuanya terlambat. Jangan ulang “kesalahan” Jakarta. Jangan gunakan hak prerogatif untuk “menyakiti” kadernya sendiri. Anggap saja energi yang terkuras untuk Pilkada Jakarta kemarin, sebagai pupuk untuk membangun ikatan yang lebih solid antar kader. Tidak zaman lagi elit PDIP mengabaikan suara-suara kader dan simpatisannya.

Salam @yb   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun