Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memunculkan spekulasi adanya barter politik dengan vonis 2 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim PN Jakarta Utara Basuki Tjahaja Purnama yang didakwa menista agama. Terlebih “pasal-pasal” yang pakai untuk membubarkan HTI sangat sumir sebagaimana pernah diungkap pada tulisan sebelumnya. Ini basa-basi politik atau politik basa-basi?
Di tengah panasnya persidangan Ahok, tiba-tiba HTI membuat banyak kegiatan. Bantuan Serba Guna (Banser) Pemuda Ansor- organisasi kepemudaan di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) pun melakukan penghadangan. Bukannya tiarap sebagaimana sebelumnya, HTI malah “menantang” dengan agenda menggelar forum khilafah di berbagai daerah. Ini aneh jika melihat sepak-terjang HTI sejak puluhan tahun lalu. Sebagai gerakan politik, HTI bukan organisasi karbitan. Kader-kadernya sangat militan dan sudah terbiasa berada di bawah tekanan rezim penguasa. Mereka memiliki taktik perjuangan dengan- salah satunya, menghindari konflik terbuka. Itu sebabnya, meski kehadirannya jauh sebelum berdirinya ormas Front Pembela Islam (FPI), kader HTI sangat jarang terlibat bentrokan dengan umat lainnya, termasuk umat Islam tradisional semacam NU. Tetapi sepanjang 2017, bentrokan HTI dengan Banser Pemuda Ansor terjadi di berbagai daerah.
Berdasarkan penolakan dan bentrokan dengan Banser Pemuda Ansor itulah, HTI yang kurang mendapat simpati mayoritas umat Islam di Indonesia, dibubarkan pemerintah. Menurut Menko Polhukam Wiranto, kegiatan HTI terindikasi kuat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Tidak gejolak ada gejolak, tidak ada pula dukungan kepada HTI dari organisasi-organisasi Islam.
Koreksi justru muncul dari para pakar hukum, pemerhati politik, bahkan ativis HAM. Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra alasan yang dikemukakan pemerintah sebagai dasar pembubaran HTI, sangat mungkin kalah di pengadilan.
Sejumlah pengamat politik pun menilai pembubaran HTI sebagai langkah blunder. Sedangkan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengkritik keputusan pemerintah membubarkan HTI karena memperburuk kondisi kebebasan berpendapat. Sikap itu juga mengesankan tidak adanya jaminan kebebasan fundamental lainnya di Indonesia.
"Pemerintah kembali menjungkirbalikkan makna penegakan hukum dalam kasus upaya pembubaran HTI. Karena pemerintah tidak menggunakan pertimbangan yang akuntable, dinamika kebebasan berpendapat, beroganisasi," kata Yani.
Ide khilafah atau imamah tidak akan pernah tumbuh subur di Indonesia. Ada banyak alasan hingga sampai pada kesimpulan seperti itu. Paling utama tentu karena keanekaragaman (plural) warga bangsa baik dari segi agama, ada-istiadat dan budayanya. Kedua, mayoritas Muslim pun telah sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Ketiga, isu khilafah di dunia internasional kurang laku. Beberapa Negara yang berazaskan Islam, pun tidak serta-merta mengadopsi sistem pemerintahan ala khilafah. Malaysia- misalnya, tetap menganut sistem partai dan demokrasi ala Barat, meski memproklamirkan sebagai Negara Islam. Demikian juga Brunei Darussalam yang tetap mempertahankan sistem kerajaan, bukan tata pemerintahan versi khilafah. Demikian juga negara-negara Arab dan Magribhi. Sebab syarat utama khalifah- pemimim dalam sistem khilafah, adalah bai'at. Adakah kepala Negara di negara-negara yang disebut di atas yang dibaiat?
Kita sepakat dan mendukung pemerintah untuk memberangus semua organisasi yang menolak Pancasila sebagai dasar negara. Justru karena itu, maka kita harus mengkritisi pembubaran HTI. Jangan sampai pembubaran HTI hanya basa-basi politik. lebih parah lagi jika pemerintah menggunakan politik basa-basi karena hal itu tidak akan menyentuh esensi- akar persoalan, yang sesungguhnya. Jika salah mengelola, apalagi sampai kalah di pengadilan, isu pembubaran justru menjadi pupuk penyubur bagi HTI dan kelompok-kelompok intoleran. Warga bangsa yang semula tidak perhatian terhadap HTI, dengan adanya “iklan gratis” di media-media mainstream, mulai mencari tahu apa itu HTI dan tanpa dibekali pemahaman yang benar, bukan mustahil akhirnya bersimpati.
Banyak peristiwa di negeri ini di mana objek yang dihujat secara terus-menerus justru meraih simpati masyarakat. Mari kita berguru pada peristiwa lalu dan jadikan cermin untuk melihat peristiwa kekinian.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H