Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menteri Susi: Pasal dalam UU Bisa Diorder!

8 Mei 2017   12:53 Diperbarui: 8 Mei 2017   16:55 3047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah memperbolehkan nelayan menggunakan alat penangkap ikan jenis cantrang sampai dengan Desember 2017 sesuai arahan Presiden Joko Widodo, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melancarkan “perang” terbuka terhadap pembuat undang-undang. Menurut Susi, pasal-pasal dalam undang-indang bisa diorder untuk kepentingan pihak tertentu. Tudingan ini tidak main-main karena menohok langsung para politisi di Senayan. 

Meski pasal-pasal dalam sebuah rancangan undang-undang (RUU) bisa saja berasal dari usulan pemerintah, tetapi berdasarkan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945  kekuasaan untuk membuat UU ada di DPR dan (sesuai Ayat 2) dibahas bersama-sama dengan Presiden. Setelah DPR menyetujui, baik melalui kesepakatan maupun voting, dan pemerintah  juga menyetujui, RUU tersebut diserahkan kepada Presiden untuk disahkan dan diundangkan dalam lembar negara.

Susi tidak merinci pasal mana yang diorder oleh orang di luar pembuat UU - DPR dan pemerintah. Tetapi publik pernah dikejutkan dengan hilangnya “ayat tembakau” dari RUU Kesehatan yang sudah disetujui DPR pada Rapat Paripurna DPR, 14 September 2009. Ayat yang hilang secara misterius itu memang berpotensi merugikan pengusaha rokok karena menyebut tembakau dan produk yang mengandung tembakau sebagai zat akidtif sehingga menimbulkan ketergantungan dan merugikan pengguna dan masyarakat sekelilingnya. Jika tidak dibuang, sangat mungkin penjualan rokok akan dibatasi sebagaimana semangat ayat 2 yang hilang tersebut.

Meski Ayat 2 Pasal 113 UU No 36 Tahun 2009 sudah dikembalikan dan keberadaannya dikuatkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi, pasal ini tetap mandul. Terlebih kemudian DPR mengusulkan RUU Pertembakauan (RUUP) dan sudah disetujui sebagai RUU inisiatif DPR- meski sampai saat ini belum mendapat tanggapan dari pemerintah sehingga belum bisa dibahas. Sejumlah pihak mendesak Presiden Jokowi agar menolak RUUP tersebut karena dinilai hanya menguntungkan pengusaha rokok tanpa memperhatikan dampak buruknya kepada masyarakat.

Hilangnya ayat tembakau pada UU Kesehatan dan RUUP adalah dua contoh bagaimana pihak luar (baca: pengusaha rokok) sangat berkepentingan sehingga disinyalir menggelontorkan dana untuk “menghadang”  pasal-pasal yang berpotensi merugikan usahanya.    

Tentu Susi tidak sedang berbicara mengenai pasal tembakau. Pernyataan pedas Susi merupakan reaksi balik atas ancaman anggota DPR dari Fraksi PKB Daniel Johan yang akan mem-pansus-kan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets), jika dalam 2 minggu ke depan Menteri Susi tidak melakukan dialog dengan nelayan. Dialog tersebut tentunya dimaksudkan sebagai jalan untuk mencabut Permen No 2/2015. Secara implisit, Susi tengah mengirim pesan bahwa desakan pencabutan Permen No. 2/2015 merupakan pesanan pengusaha perikanan!

Agar tidak bias, mari kita lihat duduk perkaranya secara lengkap.

Setelah dilantik menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti melancarkan kebijakan reform kelautan dan perikanan. Untuk mewujudkannya, Susi membuat beberapa gebrakan di antaranya gencar melakukan penangkapan dan pembakaran kapal penangkap ikan ilegal. Hingga April 2017, Susi bersama Satgas 15 berhasil menangkap dan menenggelamkan 317 kapal berbendera Thailand, Vietnam, Filipina, Malaysia dan sejumlah negara lain yang melakukan pencurian di perairan Indonesia.

Susi memberlakukan larangan transshipment, penangkapan lobster dan rajungan dalam kondisi bertelur. Susi juga berhasil membongkar berbagai praktek pelanggaran hukum di bidang perikanan seperti ABK ilegal, markdown ukuran kapal, perbudakan, pencurian BBM, ekspor bibit lobster ilegal, dan manipulasi pajak yang merugikan penerimaan negara dari sektor perikanan.

Dari sekian banyak kebijakan dalam rangka reform kelautan dan perikanan, Permen No 2/2015 yang kemudian digugat nelayan. Melalui kebijakan tersebut, Susi melarang penangkapan ikan dengan menggunakan cantrang yang merupakan modifikasi trawl. Tujuannnya untuk melindungi biota laut, termasuk ikan-ikan kecil. Sebab menurut kajian WWF Indonesia, di samping merusak terumbu karang, ternyata hanya 14-20  persen hasil tangkapan menggunakan cantrang yang bisa dijual sementara sisanya tidak bermanfaat karena berupa ikan kecil dan biota laut lainnya yang merupakan bagian dari mata rantai kehidupan laut.

Nelayan juga menggugat ukur-ulang bobot kapal. Selama ini banyak ditemui dengan bobot di atas 30 gross ton (GT) melakukan markdown guna menghindari biaya perizinan  dan menikmati BBM bersubsidi karena selama ini, hanya kapal di bawah 30 GT yang berhak mendapat solar bersubsidi.

Apa dampak utama kebijakan Menteri Susi?

Pertama, kapal-kapal penangkap ikan ilegal tidak lagi leluasa melakukan pencurian di kawasan Indonesia. Stok ikan di perairan Indonesia pun melimpah. Dari kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan di 11 wilayah, pengelolaan perikanan Indonesia meningkat dari 6,5 juta ton pada 2011 menjadi 9,9 juta ton pada tahun 2016 lalu.

Kedua, karena stok ikan di laut melimpah, nelayan dipersilakan menentukan zonasi penangkapan ikan di berbagai wilayah Indonesia. Mereka dibebaskan memilih lokasi penangkapan. Padahal sejak era reformasi, sering terjadi bentrok antar nelayan karena minimnya hasil tangkapan sehingga mereka membuat zonasi sesuai asal. Misalnya nelayan dari Cilacap hanya boleh mencari ikan di wilayah perairan Cilacap. Jika menyeberang ke wilayah lain, semisal Pangnadran, mereka akan berhadapan dengan nelayan setempat.

Ketiga, pasar ikan di kawasan Asia Tenggara, juga Jepang dan Dubai terguncang karena sepi pasokan. Akibatnya harga ikan di pasaran dunia melonjak dratis. Tidak heran jika ekspor ikan kalengan, terutama tuna, naik hingga 30 persen.

Keempat, banyak industri perikanan yang dibangun sebagai bagian dari illegal fishing. Industri semacam ini langsung tutup akibat kebijakan Menteri Susi.  https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3325211/herannya-susi-ada-yang-bilang-banyak-industri-perikanan-mati

Kelima, terjadi  peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor sumber daya perikanan. Jika pada 2015 PNBP KKP tercatat hanya Rp77,47 miliar, tahun 2016 jumlahnya meningkat dratis menjadi Rp357,88 miliar.

Bukan hanya itu. Kebijakan  Menteri Susi juga berhasil menyelamatkan sumber daya ikan Indonesia senilai Rp. 306,8 miliar dalam hal penanganan pelanggaran dan penegakkan hukum. Angka tersebut meningkat dari 2015 yang hanya Rp37,2 miliar. Sumber daya ikan tersebut terdiri dari benih lobster, kepiting/lobster/rajungan bertelur, kepiting dan lobster berukuran di bawah 200 gram, mutiara, koral serta produk hasil perikanan seperti kuda laut, penyu, dan sirip hiu.

Keenam, selama periode April 2014-2017 nilai tukar nelayan sebagai salah satu indikator kesejahteraan nelayan mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2014 nilai tukar nelayan hanya 103, maka April tahun 2017, nilai tukar nelayan naik menjadi 109. Sementara pada tahun 2015 dan 2016 masing-masing 105 dan 107. Artinya dalam satu tahun ini nilai tukar nelayan tumbuh 2,31%.

Akibat kebijakannya, Susi pernah “berseteru” dengan sejumlah pengusaha perikanan seperti Tommy Winata dan Yorrys Raweyai. Susi juga pernah dilaporkan ke Bareskrim Polri karena oleh pemilik kapal MV Hai Fa berbobot 4.306 GT yang ditangkap karena diduga mengangkut ikan ilegal yang didapat dari laut Indonesia.

Pada saat bersamaan, sekelompok nelayan mulai melakukan demonstrasi menolak kebijakan Susi. Nelayan berdalih pendapatan mereka turun dratis dan kerap dikriminalisasikan oleh Polairud karena dianggap melanggar Permen No. 2/2015. Awalnya gerakan ini hanya terbatas di utara Jawa. Tetapi saat ini berkembang menjaid gerakan masif setelah Gerbang Tani, kino PKB, berada di sisi nelayan. Gerakan politik untuk “menghancurkan” kebijakan Susi mulai terdengar di Senayan. Meski disebut ingin memfasilitasi dialog antara Susi dengan nelayan, dari pernyataannya tersirat Komnas HAM pun turut mendesak Susi untuk meninjau kembali kebijakannya. Padahal Susi mengaku sudah berkali-kali melakukan dialog dengan nelayan terkait Permen No. 2/2015.

Kini pertarungan semakin terbuka. Susi keukeuh akan memberlakukan larangan cantrang di seluruh perairan Indonesia mulai 2018.Di satu sisi, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar tegas mengultimatum cabut larangan cantrang atau hak angket.  

Pertanyaannya, sebenarnya suara PKB untuk kepentingan nelayan atau pengusaha? Apakah pansus yang akan digulirkan murni kepentingan politik PKB atau diorder oleh pihak luar dengan gerojokkan dana ratusan miliar?

Salam @yb       

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun