Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menangkal Isu Keagamaan dan Sentimen Kedaerahan di Pilkada 2018

29 April 2017   11:57 Diperbarui: 30 April 2017   11:16 1716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dari tiga provinsi di Jawa yang akan menggelar pemilihan gubernur dan wakil gubernur, Jawa Barat memiliki potensi menguatnya isu-isu keagamaan. Jawa Tengah dan Jawa Timur akan diramaikan dengan  isu-isu terkait prestasi dan kepedulian para kandidat terhadap masyarakat kecil, karena- salah satu penyebabnya, ormas keagamaan yang selama ini dikenal cukup lantang menyerukan isu agama dalam setiap pemilihan kepala pemerintahan (daerah maupun pusat), kurang mengakar, bahkan mendapat penolakan dari masyarakat. Kondisi berbeda akan terjadi di Lampung.

Berkaca dari Pilgub DKI Jakarta, wajar jika Pilgub Jabar lebih menarik perhatian dibanding Jateng dan Jatim. Terlebih, tiga kutub kekuatan yang ada saat ini- didasarkan pada bakal calon ayng sudah mendapat dukungan partai, memiliki perbedaan “kultur politik” cukup mencolok yakni Ridwal Kamil yang sudah dideklarasikan Partai Nasdem, Dedi Mulyadi yang mendapat sokongan penuh Partai Golkar, dan Deddy Mizwar yang hampir pasti akan diusung dut PKS- Gerindra. Emil- sapaan Ridwan Kamil, mendapat dukungan kaum urban moderat, Deddy Mizwar mewakili kelompok Islam dan Dedi Mulyadi yang merepresentasikan wajah Sunda kolot. TIga kutub ini sudah memberi gambaran seperti apa isu-isu yang akan menghiasi laman-laman media sosial.

Di Jawa Tengah, bakal calon yang sudah mengemuka tidak memiliki “garis pembatas” yang tegas. Petahana Ganjar Prabowo dan jagoan PKB, Marwan Jafar berangkat dari akar yang sama yakni nasionalis meski Marwan memiliki “aroma” santri lebih kental mengingat dia kader PKB. Tetapi sejarah mencatat, jarang terjadi gesekan antara kubu nasionalis dan warga nahdliyin yang menjadi basis PKB.  Namun PKB tidak bisa mengusung pasangan calon sendiri karena hanya memiliki 13 kursi, kalah jauh dibanding PDIP dengan 27 kursi. Artinya bisa saja Marwan Jafar gagal nyagub jika tidak bisa mendapat sokongan partai lain yang minimal memiliki 7 kursi di DPRd Jateng.     

Sementara PKS (10 kursi) dan Gerindra (11 kursi)- yang bisa membentuk perahu sendiri jika berkoalisi, belum memunculkan jagoan meski Presiden PKS Mohammad Sohibul Iman sempat menyebut beberapa kader seperti Ketua Komisi I DPR RI Dr Abdul Kharis Al Masyhari yang berasal dari dapil Jateng V, dan Ketua DPD Partai Gerindra Jateng Abdul Wachid juga sudah rajin blusukan mencari dukungan sehingga sangat dimungkinan keduanya akan bersekutu. Sedangkan Golkar (10 kursi) dan Demokrat (9 kursi), terlihat tidak terlalu ambisi meski kader-kadernya tetap berusaha menjalin komunikasi agar bisa membentuk koalisi untuk mengusung pasangan calon sendiri.

Demikian juga dengan Jawa Timur. Pilgub 2018 hanya menjadi panggung kader-kader NU unjuk gigi. Sulit untuk mengalahkan elektabilitas Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf dan Ketua DPRD Jatim Abdul Halim Iskandar. Terlebih hanya PKB yang bisa mengusung pasangan calon sendiri karena menjadi jawara pada Pemilu 2014 dengan perolehan 20 kursi di DPRD Jatim.

Nama tenar yang berpotensi “mengganggu” dominasi jagoan NU di Jawa Timur hanyalah Walikota Surabaya Tri Rismaharini, kader PDIP.  PDIP (19 kursi) tidak akan kesulitan menggandeng partai lain untuk berkoalisi.  Bagaimana dengan Gerindra (13 kursi )dan PKS (6 kursi)? Jika mengikuti skenario yang dirancang saat Koalisi Merah Putih masih berjaya, kedua partai ini diperkirakan juga berkoalisi di Jatim. Mereka tinggal mengajak satu partai gurem untuk menambal kekurangan 1 kursi yang dibutuhkan untuk mengusung pasangan calon.

Demokrat yang kehilangan 9 kursi pada Pemilu 2014, kemungkinan tetap akan mengusung calon sendiri. Demokrat (13 kursi) bisa menggandeng Golkar (11 kursi) dan PAN (7 kursi) sebagaimana pada Pilgub 2013 lalu. Hanya saja Demokrat sudah tidak memiliki jagoan karena Ketua DPD Demokrat Jatim Soekarwo, sudah dua periode menjabat Gubernur Jatim. Jika koalisi terbentuk, kemungkinan mereka menurunkan jagoan dari Jakarta di mana Agus Harimurti Yudhoyono menempati urutan teratas.

Dengan demikian, siapa pun yang akhirnya bertarung, dapat dipastikan Pilgub Jateng dan Jatim akan terbebas dari isu keagamaan.

Daerah lain yang akan menggelar Pilgub 2018 adalah Provinsi Lampung. Meski bukan bagian dari Jawa, tetapi mengingat kedekatan dan demografinya yang tidak jauh berbeda dengan Jawa, patut juga untuk dicermati. Terlebih pada Pemilu 2014 PDIP bisa kembali berjaya di Sai Bhumi Ruwa Jurai pasca kehilangan kursi gubernur  yang sejak dua periode digenggamnya. Jika melihat calon yang akan bertarung, isu putra daerah akan lebih menonjol dibanding isu agama karena Partai Demokrat dipastikan tetap mengusung sang petahana, Ridho Ficardo, melawan Walikota Bandarlampung Herman HN, yang memiliki peluang lebih besar untuk diusung PDIP.

Asal-usul Ridho Ficardo- yang ayahnya berasal dari Tulung Agung, Jawa Timur, akan diulik dan dijadikan isu perekat bagi lawanya. Meski bukan hal baru, karena sudah muncul sejak Pilgub 2002 dan mayoritas masyarakat Lampung tidak terpengaruh, tetapi isu putra daerah tetap akan mengemuka dan bisa saja mendapat sambitan manakala tidak ada isu-isu lain yang lebih seksi.

Isu Agama

Mengapa isu putra daerah dan sekarang isu agama, masih menghiasi kontestasi pilkada? Jawabannya akan sangat beragam. Sekedar contoh, isu putra daerah di Lampung mencuat sebagai jawaban atas “penjajahan” yang dilakukan Jakarta. Kecuali Zainal Abidin Pagaralam, semua Gubernur Lampung di era Orde Baru didrop dari Jawa. Usai menunaikan tugas, mereka umumnya kembali ke Jawa. Tidak heran manakala sumbatan aspirasi jebol, keinginan pertama yang disuarakan tokoh-tokoh Lampung adalah memiliki pemimpin asli Lampung dengan harapan bisa lebih memahami budaya lokal dan bekerja  sungguh-sungguh  untuk kemajuan daerah.  

Isu agama yang mengiringi PIlgub Jakarta terjadi juga karena beberapa sebab. Penolakan terhadap Basuki Tjahaja Purnama yang awalnya hanya dilakukan oleh segelintir warga yang tergabung dalam organisasi keagamaan seperti FPI dan Hizbut Tahrir, menjadi bola salju karena beberapa komentar dan kebijakan Ahok yang dianggap menyakitkan umat Islam. Kritiknya terhadap penggunaan surat Al Maidah dalam kontestasi pilkada dan jilbab bisa menjadi contoh buruknya komunikasi Ahok terhadap umat Islam. Membunuh seekor nyamuk dengan bom tentu bukan cara yang efektif.

Tentu kita tidak bisa menafikan keberadaan putra daerah dan Islam. Ia ada dan tumbuh di tengah masyarakat Indonesia. Kita wajib mengakui eksistensinya. Justru di situlah letak keberagaman (pikir dan aspirasi) yang sesungguhnya, yang wajib dihormati. Sah-sah saja menggunakan isu semacam itu sepanjang tidak disertai dengan pemaksaan, intimidasi dan kekerasan. Jangan pula negara memaksa Bali harus dipimpin oleh penganut Islam, atau Papua dipimpin orang Jawa. Pancasila menjamin kebebasan warganya untuk menentukan pemimpinnya berdasarkan aspirasinya. Bahwa aspirasi tersebut didasarkan pada kesukuan, agama dan lainnya, jangan lantas dijadikan alas pembenar untuk mendiskreditkan.     

Meski demikian, sebenarnya isu putra daerah dan keagamaan tidak efektif, bahkan sudah mendapat penolakan dari sebagian masyarakat. Kemenangan Ridho Ficardo meski diserang dengan isu putra daerah dan adanya satu juta lebih pemilih Muslim yang memberikan suara kepada Ahok, adalah fakta banyak masyarakat yang tidak terpengaruh dengan isu-isu semacam itu.    

Tetapi jika isu putra daerah dan keagamaan tetap dianggap sebagai cermin ketidakdewasaan demokrasi (padahal di Amerika Serikat, juga Perancis yang saat ini tengah menggelar pemilihan presiden isu semacam itu masih digunakan), lantas bagaimana cara menangkal?

Pertama, masing-masing calon menonjolkan program unggulan yang berhubungan langsung dengan hajat setiap individu. Janji menyejahterakan masyarakat bukan isu utama, karena pada dasarnya setiap pemimpin memiliki janji semacam itu. Kita andaikan, ada dua calon pemimpin di mana satunya mengusung tema pencabutan semua subsidi dan lawannya akan menggelontorkan banyak subsidi. Jika isu ini digulirkan secara masif, masyarakat akan terpolarisasi dalam dua isu tersebut, mengalahkan isu-isu lain, termasuk putra daerah dan keagamaan. Calon yang anti subsidi akan mendapat dukungan para pembayar pajak, sementara yang pro subsidi akan didukung warga miskin.

Tetapi jika semua calon mengusung isu yang sama- semuanya berjanji akan menggelontorkan subsidi, maka isu-isu lain yang akan menjadi pembeda. isu putra daerah dan keagamaan, dan hal-hal yang dianggap buruk lainnya (dalam lingkup demokrasi) yang kemudian menjadi bahan pertimbangan masyarakat dalam menentukan pilihan. Di sinilah pentingnya kecerdasan calon dan tim suksesnya dalam mengemas isu.

Kedua,  netralitas penyelenggara dan pemerintah. Keberpihakan penyelenggara maupun pemerintah pada salah satu calon, akan mempengaruhi sentimen masyarakat karena merasa ada calon yang didzolimi. Akibatnya, masyarakat akan mencari-cari isu yang sebenarnya tidak berkaitan dengan para kandidat yang tengah berkompetisi.

Ketiga, merangkul kelompok-kelompok yang masih suka memproduksi isu keagamaan juga sentimen kedaerahan. Akui eksistensinya sepanjang tidak bertentangan dengan hukum (positif) dan etika yang berlaku di tengah masyarakat, lalu beri pemahaman secara benar. Mengabaikan atau bahkan memusuhi mereka, hanya akan melahirkan ketegangan di tengah masyarakat. Akan lebih fatal lagi manakala salah dalam mengemas “permusuhan” karena imbasnya bisa ke mana-mana. Menuding umat Islam intoleran- hanya karena berkaca dari sikap FPI, bukan saja gagal “membunuh” FPI, tetapi justru melahirkan musuh baru. Umat Islam yang tadinya “tidur” akhirnya bangkit karena merasa dilecehkan. Menuding orang (asli) Lampung rasis hanya karena satu dua tokohnya menguarkan isu putra daerah, akan berakibat fatal karena membangkit sentimen kesukuan seluruh masyarakat (asli) Lampung.

Salam @yb

Tulisan terkait : http://www.kompasiana.com/yonbayu/ahok-antara-pilkada-di-daerah-dan-jakarta_57c27eff60afbd1d3ef7ad90

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun