Siapa yang meragukan kehebatan politisi-politisi Partai Golkar? Tetapi melihat lakon Goklar dalam 5 tahun terakhir, seperti melihat organisasi kemahasiswaan yang baru belajar mengemas isu untuk menaikkan posisi tawar. Politisi-politisi Golkar yang cemerlang berubah menjadi aktivis pemula yang sibuk menawarkan proposal untuk menyerang pihak lain. Akan sampai di mana biduk Golkar berlayar?
Berbicara tentang Golkar adalah berbicara tentang entitas partai yang paling mewarnai percaturan politik tanah air. Sejak “dilahirkan” oleh orde baru, Golkar menjadi belum pernah mengalami pergolakan internal seperti sekarang ini. Bahkan setelah melakukan transformasi di era reformasi, Partai Golkar tetap menjadi kekuatan politik yang solid, yang hanya bisa dikalahkan oleh PDIP dan Partai Demokrat. Hengkangnya tokoh-tokoh Golkar pasca Munas 2004 dan 2009, seperti Prabowo Subianto, Wiranto, dan Surya Paloh yang kemudian membentuk partai sendiri, dan tidak memberi pengaruh signifikan. Golkar di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung, Jusuf Kalla hingga periode pertama Aburizal Bakrie yang berakhir tahun 2014, adalah partai modern yang mampu mengelola konflik internal tanpa perlu campur tangan pihak luar.
Kesalahan membaca arah politik yang dilakukan Aburizal Bakrie ketika ngotot mempertahankan jabatan ketua umum untuk periode kedua, adalah pangkal penyebab kemelut berkepanjangan yang menggoyah bangunan kokoh Partai Golkar. Pondasi yang disemen para dedengkot Golkar sebelumnya, ambruk karena aspirasi elitnya berlawanan dengan realitas kekinian. Ketika ARB- demikian sapaan Aburizal Bakrie, nekad melawan roh Golkar dengan menjadikannya sebagai oposisi terhadap pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla, sejatinya dia tengah meniup terompet sangkakala. Kader-kader Golkar yang terbiasa menikmati kue pembangunan, tidak tahan manakala hanya menjadi penonton. Tidak heran jika langkah politik Agung Laksono membelah Golkar, mendapat dukungan cukup besar dari tokoh-tokoh Golkar sendiri.
ARB terpuruk. Munas Bali yang diikuti dua kubu yang berseteru sejak 2014, menasbihkan Setya Novanto sebagai ketua umum. Tidak ada gejolak, tidak ada penolakan. Terlebih ketika Setya Novanto mengembalikan kittah Golkar sebagai partai pendukung pemerintah. Semua senang, semua bahagia. Setya Novanto semakin getol mendekati pemerintah (baca: Jokowi). Bahkan Golkar sudah mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi untuk Pilpres 2019 di saat partai-partai pendukung Jokowi masih sibuk membahas pemenangan pilkada 2017. Sesuatu yang lucu mengingat Jokowi bukan kader Golkar. Tetapi demi keuntuhan partai, demi tujuan pribadi Setya Novanto agar kasus-kasus yang pernah disinggungkan padanya ditutup, kader-kader Golkar yang cerdas dan brilian dalam tataran politik tanah air, memilih diam. Mereka pura-pura tidak mendengar ketika pengamat dan politisi di luar Golkar riuh mentertawakan kekonyolan kader-kader Golkar di bawah kemudi Setya Novanto.
Tetapi sampai kapan mereka bisa menerima “hinaan” nan menyakitkan itu? Tidak sampai satu tahun sejak Munas Bali 2016, perlawanan terhadap Setya Novanto mulai terdengar. Terlebih setelah Setya Novanto ngotot mendukung Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilkada DKI Jakarta serta kemudian mengambilalih kursi ketua DPR dari tangan Ade Komarudin. Berbeda dengan era sebelumnya, letupan-letupan itu mencuat dan menjadi konsumsi publik. Sinyalemen adanya friksi di tubuh Golkar mendapat pembenaran ketika Setya Novanto mengganti Ketua Fraksi Golkar DPR RI Kahar Muzakir dengan Robert Joppy Kardinal- “si pembawa tas” Setya Novanto.
Ibarat api dalam sekam, kader-kader Golkar yang menghendaki Setya Novanto dilengserkan, menunggu momentum untuk bergerak. Hanya loyalisnya yang terlihat membela saat KPK melakukan pencekalan terhadap Setya Novanto karena dianggap banyak mengetahui soal korupsi e-KTP. Sementara kader-kader lainnya sibuk menyiapkan panggung pendongkelan.
Mengapa Setya Novanto tidak bisa menyatukan Golkar dan kemungkin juga gagal menyelamatkan dirinya sendiri dari jerat hukum? Ada beberapa hal yang patut dicermati.
Pertama, ARB belum sepenuhnya legowo kehilangan kursi ketum. ARB lebih suka berada di Hambalang, sementara Setya Novanto memaksa gerbong Golkar masuk ke Istana. Pemecatan terhadap kader Golkar yang menolak dukungan kepada Ahok, seperti Fadel Muhammad, justru semakin mengisolasi Setya Novanto karena mereka yang dipecat memiliki pengaruh kuat dalam tubuh Golkar. Bukankah sebelum Setya Novanto naik, Fadel Muhammad sudah menjadi salah satu ikon Golkar?
Kedua, gayung tak bersambut. Jokowi belum bisa sepenuhnya mempercayai sikap politik Golkar (baca: Setya Novanto). Keinginan Setya Novanto agar kadernya masuk kabinet, ditolak halus oleh Jokowi. Sampai hari ini, meski Setya Novanto sudah jor-joran memberi dukungan, Jokowi belum juga memberikan sign untuk mengakomodir kader Golkar. Jokowi hanya memberikan sedikit hiburan dengan mengaangkat Tantowi Yahya sebagai Duta Besar Selandia Baru. Parahnya, harapan Setya Novanto agar ada “pembelaan” Jokowi terhadap sejumlah kasus yang disangkakan publik kepada dirinya, tidak terealisasi. KPK semakin gencar mengusut kasus korupsi e-KTP, yang diduga kuat melibatkan Setya Novanto.
Ketiga, terlalu ambisius. Pengambilalihan kursi ketua DPR hanya contoh kecil bagaimana Setya Novanto sangat ambisius. Setya Novanto ingin menguasai Golkar sepenuhnya sebegaimana Megawati Soekarnoputri di PDIP, Prabowo Subianto di Gerindra, atau bahkan Susilo Bambang Yudhoyono di Demokrat. Tidak ada ruang bagi kader Golkar yang membelot dari titahnya. Setya Novanto lupa, Golkar merupakan partai modern yang tidak memiliki figur sentral. Golkar tidak bisa dibangun dengan kharisma pemimpinnya. Hubungan antara kader dan pengurus bukan dibangun atas dogma patron-klien, melainkan hubungan sejajar. Kepengurusan Golkar bersifat kolektif dan ketua umum tidak memiliki hak istimewa untuk memutus satu masalah, termasuk dukungan politik, tanpa persetujuan pengurus lainnya.
Kini Setya Novanto sudah berada di tubir jurang. Jika prediksi Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Partai Golkar Yorrys Raweyai benar maka sprindik yang diikuti penetapan sebagai tersangka oleh KPK akan menjadi papan jungkit yang melemparkan Setya Novanto ke lembah nista. Setelah itu kiblat politik Golkar diyakini ikut berubah. Dengan sisa waktu efektif kurang dari 2 tahun sebelum gelaran Pemilu dan Pilpres 2019, kader-kader Golkar harus berjibaku melakukan konsolidasi internal agar terhindar dari keterpurukan.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H