Hasto kemudian menyiratkan, pihak yang menegasikan kebhinekaan tersebut berasal dari masjid-masjid tertentu sehingga dibutuhkan orang seperti Gus Nuril untuk membersihkannya. Dengan bahasa yang lebih gamblang, Hasto menengarai sejumlah masjid dijadikan basis gerakan anti kebhinekaan alias kelompok Islam garis keras, sehingga perlu dimasuki oleh orang-orang Islam moderat seperti Gus Nuril.
Sulit membayangkan bagaimana Gus Nuril dan orang-orang NU, mengkotbahkan hal-hal yang justru berbeda dengan jamaah masjid tertentu. Katakanlah, Gus Nuril kotbah Jumat di masjid dengan jamaah kaum Muhammadiyah. Meski jamaah tetap akan berada di tempat sampai kotbah selesai, tetapi dijamin tidak ada satu pun jamaah sholat Jumat yang terpengaruh dengan kotbah Gus Nuril. Bukan berarti jamaah Muhammadiyah radikal, Islam garis keras dan NU moderat. Bukan sesederhana itu persoalannya.
Meski sama-sama pengikut aliran ahlussunnah wal jamaah, ada beda prinsip yang tajam antar kedua jamaah yang berkhidmat di bawah payung dua organisasi tersebut, terutama dalam menyikapi sebuah masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Muhammadiyah akan melihat terlebih dahulu apakah di Al-Quran ada dalil yang membahas mengenai persoalan yang muncul atau tidak. Jika tidak ada, maka Muhammadiyah akan mengkaji mengenai persoalan tersebut sesuai dengan pemikiran dan melihat dalil – dalil yang masih ada kaitannya dengan persoalan tersebut . Sedangkan, NU akan dikaji setiap masalah yang terjadi terlebih dahulu, setelah itu melihat dalil-dalil tekait yang ada dalam Al-Quran.
Bagaimana jika bicara kasus per kasus? Ceramah Gus Nuril mungkin “tidak nyambung” dengan kaum Nahdliyin manakala berbicara soal kasus penistaan agama. Bukan rahasia lagi jika sejumlah ulama dan kaum Nahdliyin berbeda sikap dan pandangan terkait masalah tersebut. Jadi bagaimana mungkin “sapu” yang belum tentu bisa “membersihkan” rumah sendiri digunakan untuk “membersihkan” tempat wudhu orang lain?
Upaya Hasto, juga Sukmawati Soekarnoputri, menggalang persekutuan antara Nahdliyin dan Marhaen dalam rangka memenangkan Pilgub Jakarta akan sia-sia jika disertai dengan kecurigaan pada kelompok lain. Jika Marhen mengajak NU membentuk satu aliansi politik, akan mengingatkan masyarakat pada masa orde lama ketika Bung Karno mencetuskan Nasakom. Masyarakat akan terpolarisasi dalam sekat-sekat ideologi yang saling berhadapan.
Jika Hasto, juga Sukmawati, benar-benar nasionalis, mestinya tidak memiliki pemikiran untuk “membersihkan” satu kelompok yang kebetulan berbeda pendapat dalam kontestasi politik. jika dianggap menyimpang dari ideologi kebhinekaan – padahal siapa yang sebenarnya anti kebhinekaan masih sumir, mengapa tidak dirangkul dan duduk bersama demi keutuhan NKRI? Mengapa harus membentuk “pasukan kelima” untuk membersihkan mereka?
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H