Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menelisik Strategi Politik Dua Kaki Jokowi

27 Februari 2017   04:01 Diperbarui: 28 Februari 2017   18:00 8304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Joko Widodo kembali memakai strategi dua kaki untuk menghadapi sikap keras PT Freeport Indonesia. Dengan sigap Presiden menjadwal ulang kunjungannya ke Australia- yang sebelumnya sempat tertunda, demi mendapat jaminan Negeri Kanguru itu tidak akan “main mata” jika sampai Amerika Serikat menggunakan isu Papua di fora Internasional karena marah perusahaan warga negaranya diganggu. Apalagi Australia merupakan sekutu terdekat Amerika yang berbatasan langsung dengan Indonesia. 

Diplomasi jalan pagi membuahkan hasil.  Perdana Menteri Malcolm Turnbull memberi garansi Canberra menghormati Traktat Lombok 2006. Salah satu poin terpenting dari Traktat Lombok adalah pengakuan Australia atas kedaulatan dan teritorial Indonesia. sebagai imbalannya, Indonesia bersedia untuk menjalin kembali kerjasama militer yang sempat terputus setelah muncul insiden plesetan Pancasila menjadi Pancagila yang dilakukan oleh perwira militer Australia.

Hasil kesepakatan yang dicapai di Australia hanya sedikit contoh bagaimana Presiden Jokowi menggunakan strategi dua kali alias nokang, Kehadiran Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud juga bisa dijadikan contoh bagaimana Jokowi menggunakan Negara Arab itu untuk “mengimbangi” dominasi modal China yang mengalir ke Indonesia. Terlebih selama pemerintahannya, kehadiran investor China selalu mematik isu chinanisasi  Indonesia. Tidak heran, kehebohan kedatangan penjaga dua Kota Suci itu dikaitkan dengan  besarnya nilai investasi yang akan digerojokkan di Indonesia. Tanpa sadar publik akhirnya  membandingkan nilai investasi kedua negara. Terlepas mana yang lebih besar, isu chinanisasi  pun dengan sendiri akan mereda.

Sedikit ke belakang, Presiden Jokowi juga membiarkan peralatan tempur Indonesia dibeli hanya dari satu negara. TIdaks eperti rezim sebelumnya yang mengandalkan alat utama sistem pertahanan (alutsista)  dari Amerika dan sekutunya, Jokowi membeli beberapa peralatan tempur dari Rusia, termasuk Sukhoi Su-35 yang konon memiliki kemampuan setara pesawat tempur F-35 buatan Amerika Serikat.

Bagaimana di dalam negeri? Meski Prabowo Subianto merupakan rival utama dalam pilpres kemarin, Jokowi tidak sepenuhnya menganggap demikian. Prabowo tidak pernah dianggap sebagai musuh abadi, namun juga tidak benar-benar “diperlakukan” sebagai teman sejati. Sedikitnya dua kali Jokowi “memanfaatkan” Prabowo sebagai “musuh tapi mesra”.

Pertama saat Jokowi terjepit karena didesak untuk melantik Jenderal Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri awal tahun 2015 lalu. Padahal saat itu Budi Gunawan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Jokowi menggandeng Prabowo untuk mengurangi tekanan yang digalang PDIP. Hasilnya sangat manjur. Anggota DPR dari kubu Koalisi Merah Putih yang – seolah merestui Jokowi mengangkat Budi Gunawan tapi sesungguhnya tengah mendorong ke tubir jurang, mengurangi tekanan. PDIP yang tidak memiliki koalisi kuat di DPR akhirnya juga mau menerima ketika Jokowi membatalkan pengangkatan Budi Gunawan.

Bantuan Prabowo saat itu sulit diterima nalar karena KMP sendiri masih kuat dan beberapa kali mencoba melakukan maneuver untuk menjegal Jokowi. Jika politik adalah bagaimana memanfaatkan setiap momen demi satu kepentingan (kekuasaan), mestinya Prabowo memanfaatkan “kemarahan” PDIP kepada Jokowi yang tidak mau mengangkat Budi Gunawan. Jika pun tidak ikut menjatuhkan, Prabowo bisa memberi jalan kepada PDIP untuk menekan Jokowi melalui DPR. Tetapi Prabowo ternyata tidak melakukan hal itu.

“Kebodohan” Prabowo kembali terulang saat mulai marak isu kudeta yang menyelinap di balik aksi umat Islam menuntut peradilan terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama karena diduga melakukan penistaan agama. Isu kudeta bukan hanya datang dari luar, namun juga beredar kencang di dalam pagar istana. Jokowi harus melakukan roadshow politik, baik ke kalangan ulama, organisasi Islam hingga satuan-satuan militer. Jokowi pun menemui Prabowo di kediamannya di Hambalang. Jokowi yang tidak pernah naik kuda, terpaksa melakukan akrobatik demi menyenangkan tuan rumah. Hasilnya, Prabowo memberi jaminan dirinya akan mengawal pemerintahan Jokowi-JK  hingga selesai. Prabowo baru terperangah ketika sejumlah orang dekatnya diciduk polisi. Prabowo tidak bisa berbuat apa-apa manakala Ahmad Dhani, Rachmawati Soekarnoputri, Kival Zen dan sejumlah orang yang selama ini berkelindan di sekitar Prabowo ditetapkan sebagai tersangka makar.

Alasan Jokowi mendekati Prabowo bukan saja karena akan menangkapi orang-orang dekatnya, tetapi untuk memperkuat posisinya karena saat itu tengah berseteru secara terbuka dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Secara matematis, jika SBY bergerak terlebih dulu merangkul  Prabowo, isu kudeta tidak akan begitu Judah dipadamkan. Dengan mengunci Prabowo, Jokowi lebih leluasan meladeni manuver SBY yang tengah berambisi membangun dinasti.

Sepintas politik dua kaki Presiden Jokowi  brilian dan nyaris tanpa resiko. Terlebih setelah hampir semua partai politik menyatakan kesetiaan karena nasib para pengurusnya tergantung pada sikap politik Jokowi sebagai buntut konflik internal.  

Tetapi politik nokang juga memiliki sejumlah kelemahan. Pertama, akibat longgarnya hubungan yang terjalin, Jokowi tidak memiliki kawan dan lawan setia. Ketika lawan bisa secepat kilat berubah menjadi kawan, bukan hal yang mustahil berlaku sebaliknya- kawan menjadi lawan. Terlebih Jokowi tidak pernah merasa nyaman dengan hanya ditopang PDIP.  Memberi jalan partai lain masuk ke dalam lingkarannya, adalah bukti sahih bagaimana Jokowi membutuhkan banyak  kawan, sekaligus lawan untuk kepentingan politik dua kakinya.

Kedua, rendahnya kepercayaan baik lawan maupun kawan. PDIP selalu curiga Jokowi main mata dengan Golkar dan Gerindra. Pada saat bersamaan Golkar, Gerindra juga Demokrat selalu curiga Jokowi berada di balik berbagai isu yang berkembang di tengah masyarakat untuk terus mengikat kawan dan lawan. Perpecahan partai hingga kasus Ahok adalah contoh beberapa isu yang dicurigai “digoreng” oleh Istana untuk tujuan tertentu. Menguatnya tudingan sebagian ulama bersikap intoleran dimanfaatkan oleh Istana untuk mempersempit ruang gerak lawan. Polisi bisa dengan tiba-tiba menjadikan ulama yang dianggap ‘membahayakan” Istana, sebagai tersangka atas dasar laporan “masyarakat”. Meski kasus yang dilaporkan terjadi lima tahun lampau, polisi bisa langsung memprosesnya seolah tidak ada kasus lain yang tengah ditangani. Hebatnya, kriminalisasi ulama- demikian istilah yang dipakai oleh sebagian ulama, justru terjadi setelah Jokowi menunjukkan sikap keberpihakkannya kepada umat Islam dengan ikut hadir dalam Aksi Bela Islam 212 di Monas dan mendengarkan tausyiah Habib Rizieq Shihab yang meledak-ledak. Fakta ini sedikit membuka mata publik jika kehadiran Jokowi dalam aksi tersebut tidak seperti yang mereka duga dan harapkan. Akibatnya, kelak manakala terjadi aksi serupa, massa mungkin akan menolak kehadiran Jokowi.

Ketiga, Jokowi menjadi pusat semua persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Kasus Ahok adalah contoh nyata bagaimana Jokowi harus berjibaku agar tidak terkena imbasnya karena sebagian kalangan meyakini ada kaitan dengan peran Jokowi. Demikian juga dalam konflik internal partai. Jokowi harus menyisihkan waktu untuk menyelesaikan urusan yang sebenarnya sepele dan bukan ranah eksekutif,   tetapi karena dikaitkan dengan dirinya sehingga isunya ke mana-mana.

Pertanyaannya, sampai kapan Jokowi mampu mengelola hal-hal semacam itu? Padahal, galibnya politik, kian mendekati pemilu, juga pilpres, masing-masing partai akan mempercantik diri untuk merebut simpati masyarakat. Itu artinya, akan semakin banyak isu-isu yang sengaja digoreng oleh para politisi untuk menaikkan citra diri dan juga partainya. Dan seperti disinggung di atas, semua isu akan langsung ditembakkan ke Istana. Sangat disayangkan jika Presiden Jokowi hanya menjadi tukang pemadan kebakaran di sisa dua tahun masa kekuasaannya.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun