Judul panjang di atas semata-mata hanya untuk mengimbangi judul media online KOMPAS.com "Hanya Isu SARA yang Dapat Menjegal Ahok-Djarot pada Putaran Kedua". Berita yang diunggah Sabtu, 18 Februari 2017 pukul 18:48 WIB dan telah dibaca 65.879 kali dan 8.046 shares per 19 Februari 2017 pukul 15.22 WIB, hanya berisi kutipan pendapat Deputi Koordinator Nasional Jaringan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto.
Kedua judul baik untuk artikel ini maupun berita di KOMPAS.com, adalah bentuk penggiringan opini yang sangat berbahaya.
Kesimpulan Sunanto yang menggeneralisir pemilih Jakarta sebagai warga rasis andai Ahok-Djarot kalah dalam kontestasi Pilkada DKI sebenarnya ini bukan “pendapat” baru karena jauh sebelumnya telah ada opini serupa dipublish secara sistematis untuk “menakut-nakuti” warga Jakarta. Mereka yang tidak ingin dilabeli rasis, dengan terpaksa mendukung Ahok dalam media-media online. Biasanya mereka mendahului komen atau pendapatnya dengan kalimat : saya Muslim, saya pilih Ahok…
Sementara judul tulisan ini telah memvonis adanya pihak-pihak yang telah berbuat kecurangan manakala pasangan Anies-Sandiaga kalah pada putaran kedua Pilkada DKI. Para penyelenggara, juga pemerintah dan pihak-pihak yang memiliki akses terhadap data perolehan suara, akan bekerja di bawah tekanan opini telah berbuat curang manakala perolehan suara Anies –Sandiaga di bawah Ahok-Djarot.
Memilih berdasarkan keyakinannya bukan SARA. Mengatakan Ahok umat Kristiani juga bukan SARA, ttapi mengajak orang lain untuk tidak memilih Ahok karena dia Kristen, itu SARA. Mengatakan , “saya akan memilih pemimpin yang sesuai dengan agama saya.” bukan SARA karena dia memilih berdasarkan keyakinannya, berdasarkan hati nuraninya. Pilihannya juga tidak melanggar konstitusi karena tidak menyuarakan kebencian kepada siapa pun. Sama halnya ketika seseorang mengatakan orang Jawa pilih (calon) Jawa, orang Tionghoa pilih (calon) Tionghoa dan lain-lain.
Beda jika kalimatnya, “saya akan memilih Anies Baswedan karena Ahok Kristen.”, “saya pilih calon Jawa karena calon lain Batak.” Kedua kalimat ini masuk kategori SARA karena dia menyertakan penolakan terhadap calon lain berdasarkan agama, berdasarkan kesukuan.
Isu-isu semacam itu tentu akan debatable. Sampai isi lapo habis pun, perdebatan tidak selesai. Untuk itu, alangkah baiknya jika kita tidak masuk pada wilayah yang justru akan berujung pada retaknya sendi-sendi kebangsaan.
Ahok sangat mungkin kalah bukan hanya karena isu SARA tetapi juga akibat kebijakan-kebijakan yang tidak memberi manfaat bagi calon pemilih. Mereka yang tidak memilih Ahok karena telah dipindahpaksakan apakah termasuk kelompok rasis? Mungkin saja kebijakan Ahok menggusur warga bantaran sungai sudah benar, bermanfaat bagi warga Jakarta secara umum. Tetapi tidaklah menjadi rasis manakala korbannya, warga yang kini terberai karena kehilangan rumah sementara dia tidak bisa tinggal di ketinggian, di Lantai 7, tidak memilih Ahok. Ingat, tidak semua warga yang digusur adalah pemukim liar. Sebagian dari mereka juga memiliki sertifikat hak milik.
Itu hanya satu contoh siapa saja warga Jakarta yang tidak memilih Ahok pada gelaran pilkada putaran pertama dan mungkin nanti pada putaran kedua. Mengatakan Ahok hanya bisa dikalahkan dengan isu SARA sangat mungkin dilontarkan oleh mereka yang memang rasis sehingga selalu curiga, orang lain juga berbuat dan berpikir seperti dirinya.
Mari kita sikapi pilkada DKI secara wajar sebagaimana pilkada-pilkada yang lain. Jangan setiap kritik kepada Ahok dianggap sebagai sikap rasis hanya karena beliau Kristen dan Tionghoa. Saat ini Ahok adalah Gubernur DKI yang warganya heterogen. Jangan mendegradasi Ahok sebagai representatif Kristen atau Tionghoa. Pandanglah protes, kritik dan lainnya sebagai kritiknya warga Jakarta kepada gubernurnya, protesnya warga Jakarta kepada gubernurnya, bukan protesnya Islam ke Kristen, kritiknya Jawa ke Tionghoa.
Tentu kita tidak bisa menafikan ada kelompok-kelompok yang memang menyuarakan penolakan terhadap Ahok berdasarkan agamanya. Tetapi terlalu naïf jika pandangan kelompok ini dianggap mewakili pandangan mayoritas warga Jakarta. Berdasarkan data kependudukan DKI Jakarta Tahun 2013 penduduk Jakarta yang beragama Islam mencapai 8.340.466 jiwa, Kristen 844.457, Katholik 397.155 dan sisinya sebesar 40 ribu jiwa lebih merupakan penganut agama/kepercayaan lain yang diakui Negara. Jika seluruh warga Jakarta non Muslim digabung, jumlahnya hanya sekitar 15 persen dibanding warga Muslim.
Meski hitung-hitungannya masih membutuhkan metode yang lebih akurat, tetapi sebagai gambaran berapa sumbangsih suara Muslim untuk Ahok, bisa kita lihat dari prosentase perolehan Ahok-Djarot. Dari sekitar 5 juta warga Jakarta yang memberikan suara, pasangan Ahok-Djarot mendapat 2.357.587 suara (42,91 persen). Sekali pun kita gunakan asumsi seluruh warga non Muslim DKI yang berjumlah 1,3 juta lebih, memiliki hak suara dan memilih paslon nomor 2, maka Ahok telah mendapat sumbangan lebih dari 1 juta suara dari pemilih Muslim. Jumlah ini tentu akan membengkak manakala digunakan asumsi banyak warga non Muslim di Jakarta yang masih di bawah usia 17 tahun atau belum memiliki hak pilih, dan tidak semua non Muslim pilih Ahok.
Fakta tersebut menunjukkan kasus dugaan penistaan agama, yang oleh sebagian dikategorikan sebagai isu SARA, tidak menjadi penghalang bagi Ahok untuk meraih dukungan Muslim. Dengan bahasa yang lebih gamblang, pemilih Jakarta bukan pemilih rasis. Jadi jangan lagi membesar-besarkan isu warga Jakarta rasis. Ahok akan menang atau kalah pada Pilkada DKI ditentukan oleh banyak faktor seperti kinerja selama menjabat sebagai gubernur, soliditas mesin partai pendukung, relawan dan strategi di lapangan.
Ataukah pernyataan, “Hanya Isu SARA yang Dapat Menjegal Ahok-Djarot pada Putaran Kedua” bagian dari black campaign untuk warga Jakarta?
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H