Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Rem Tangan Megawati Untuk Ahok

13 Oktober 2016   00:05 Diperbarui: 15 November 2016   02:28 2938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika mengajak sejumlah calon kepala daerah yang diusung PDI Perjuangan berziarah ke makam Presiden RI I Ir. Soekarno, Megawati Soekarnoputri melarang petahana pilgub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menjawab pertanyaan wartawan. Bukan hanya pertanyaan todongan (doorstop), tetapi Megawati langsung mempraktekkannya ketika jumpa pers. Megawati menepis tangan Ahok yang hendak mengambil mikrofon.

Entah karena nurut dengan perintah Megawati atau ada hal lain, setelah itu Ahok menjadi irit bicara terkait pilkada seperti diberitakan kompas.com.

Ada dua kemungkinan mengapa Ahok yang biasanya begitu lantang berbicara terkait apapun, termasuk pilkada, berubah menjadi irit bicara. Kemungkinan pertama benar-benar menuruti perintah Megawati yang dikenal sangat irit bicara kepada wartawan.

Kemungkinan kedua, Ahok tidak ingin komentarnya dipelintir sehingga menambah keruh suasana saat ini terkait ucapannya mengenai surat Al Maidah ayat 51. Mungkin ini juga bagian dari tabayyun. Apapun itu, meminjam istilah Nusron Wahid di ILC, hanya Ahok yang tahu mengapa dirinya menjadi irit bicara soal pilkada.

Tulisan ini hanya ingin mempertanyakan sikap ketua umum PDI Perjuangan yang melarang Ahok berbicara kepada wartawan. Megawati menuduh (menduga?) pertanyaan-pertanyaan yang diajukan wartawan merupakan titipan. Dikutip dari sumber yang sama, Megawati mengatakan, "Stop itu enggak usah omong pasti titipan, nanti pernyataannya apa, yang dimasukkan negatif terus."

Mengapa Megawati takut wartawan membawa pertanyaan titipan yang menjebak? Sudah sedemikian parahkah profesi wartawan sehingga pekerjaannya hanya menjadi “pengantar pertanyaan” lawan-lawan Ahok? Sudah sedemikian rendahkah moral wartawan sampai-sampai Megawati begitu yakin ucapan Ahok akan dipelintir oleh wartawan sehingga “pernyataannya apa (pun), yang dimasukkan (diwartakan) negatif terus.”

Kita tidak mengingkari ada wartawan yang bekerja tidak sesuai kaidah, norma serta kode etik yang berlaku. Terlalu banyak untuk disebutkan jumlah wartawan yang merangkap menjadi “penyambung lidah” kepentingan pihak-pihak di luar konteks kewartawanan. Tetapi rasanya kurang elok jika hal itu dijadikan dasar oleh seorang tokoh bangsa untuk mendiskreditkan profesi wartawan. Terlebih, suka atau tidak, diakui atau tidak, Megawati adalah salah satu tokoh nasional yang menjadi simbol perjuangan membebaskan bangsa ini dari belenggu rezim totaliter yang- antara lain, membungkam kebebasan pers.

Kita berharap Megawati tetap berada di posisi itu, menjadi guru bangsa sekaligus negarawan yang menghormati setiap profesi. Menjadi politikus adalah jalan pengabdian yang mulia dan terhormat, namun tidak serta-merta menjadi lebih tinggi (derajatnya) dibanding pengabdian yang dilakukan oleh anak-anak bangsa di bidang lain.

Kita menghargai sikap Megawati yang cenderung menutup diri terhadap wartawan. Bukan hal baru jika ada rekan wartawan yang sulit untuk bisa mendapatkan komentar Megawati terkait suatu masalah. Megawati hanya berbicara kepada wartawan untuk satu momen yang berkaitan langsung dengan aktivitasnya saat itu. Jadi ketika tengah meninjau kebun bunga, jangan harap Megawati mau menjawab pertanyaan wartawan di luar topik bunga.

Tetapi jika yang dijadikan alasan irit bicara kepada wartawan karena kekuatiran adanya muatan (baca: pesanan) pihak lain, rasanya kurang etis. Bukan berarti harus menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan wartawan, namun mestinya ketika menolak berkomentar, Megawati memiliki alasan di luar kekhawatiran tersebut. Mungkin topik dan waktunya yang tidak tepat, mungkin karena tidak ingin terlibat polemik, mungkin pertanyaannya kurang jelas dan seribu kemungkinan lainnya. Sah-sah saja sepanjang tidak mendiskreditkan si pewarta. Kecuali jika sudah terbukti si wartawan melanggar kode etik. Kita justru akan mendorong agar Megawati, atau siapa saja yang dirugikan oleh wartawan, untuk melapor kepada lembaga terkait, terutama Dewan Pers.

Kita berharap Megawati tidak menggunakan pengaruhnya untuk menekan calon kepala daerah, dan juga kader-kader PDIP lainnya terutama yang tengah menjalankan tugas partai menduduki jabatan-jabatan publik (politik), agar menjauhi wartawan. Produk jurnalistik yang disampaikan kepada masyarakat hanya mungkin berimbang, bernas dan bermanfaat manakala pejabat, calon pejabat, pihak-pihak terkait, mau memberikan pernyataan dan data sesuai kondisi sebenarnya. Jika tokoh publik, pejabat dan nara sumber lainnya bersikap tertutup, jangan salahkan wartawan ketika produk yang dihasilkan bias, tidak berimbang, bahkan lebih jauh lagi, “menyalahi” kode etik.

Bukankah semua pihak yang mencintai demokrasi sepaham agar seluruh komponen yang menjadi penegak pilar-pilar demokrasi, berfungsi dengan baik?

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun