Apa yang sebenarnya menjadi dasar keputusan SBY mengakhiri karir militer anaknya? Pertama tentu peta politik saat ini yang sangat tidak menguntungkan Partai Demokrat. Citra yang sudah terpuruk sejak mencuatnya berbagai skandal korupsi yang melibatkan para petinggi partai, dari ketua umum hingga bendahara dan kadernya di DPR, hanya mungkin bisa ditegakkan kembali jika ada tokoh baru yang mampu menutup “dosa-dosa” tersebut. Stok kader yang ada saat ini, tidak memiliki pengaruh- apalagi elektabilitas, mumpuni untuk level nasional.
SBY juga tidak bisa berharap banyak pada Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas). Meski telah matang secara politik, dan pernah menjadi sekjen partai, namun Ibas gagal memenuhi ekspektasi SBY. Popularitas Ibas justru berkelindan dengan “dosa” partai. Nama Ibas terus diseret dalam skandal mega korupsi yang melibatkan mantan ketua umum Anas Urbaningrum dan mantan bendahara Nazaruddin. Meski peradilan tidak pernah menyentuhnya, namun sebagian besar masyarakat telah memberikan “putusan” jika dirinya “ada” dalam skandal itu.
SBY lantas melirik putra pertamanya. AHY dinilai bersih dan bebas dari “virus mematikan” yang ditabur para dedengkot partai. Kecemerlangan karir dan pendidikannya, menjadikan AHY sebagai sosok “di luar” kubangan hitam Partai Demoktrat. Lawan-lawan politiknya tidak bisa menembak AHY dengan negative campaign. Jika pun dipaksakan terhadap kasus korupsi mertuanya- Aulia Pohan yang terseret kasus korupsi di tubuh Bank Indonesia, AHY justru akan mendapat feedback positif. Bukankah Aulia Pohan simbol perlawanan SBY terhadap korupsi sehingga dirinya tidak melakukan intervensi untuk menggagalkan upaya KPK menjebloskan besannya ke penjara? Kisah Ketua KPK (saat itu) Antasari Azhar selanjutnya yang dianggap menjadi korban “balas dendam” sangat sumir sehingga tidak bisa dijadikan referensi untuk memukul balik SBY.
Awalnya, publik skeptis bahkan sinis terhadap keputusan Koalisi Cikeas yang mengusung AHY-Sylviana Murni. Tetapi fakta menunjukkan feeling politik SBY tidak salah. Terbukti dari beberapa survei elektabilitas AHY melonjak dratis. Bahkan elektabilitas AHY paling tinggi untuk pemilih pemula seperti diberitakan di sini
Padahal AHY belum melakukan pendekatan langsung kepada masyarakat. Beberapa even yang dipakai AHY untuk “berkenalan” dengan warga Jakarta, juga belum maksimal. Namun namanya sudah menggema di lorong-lorong sempit, wilayah kumuh, dan daerah pinggiran lainnya yang “dijauhi” Ahok dan terlalu elit untuk “dipijak” Anies Baswedan. Nama AHY juga bergema di kalangan terpelajar dan intelektual karena sosoknya yang smart. Satu lagi, meski bukan faktor utama, tampang AHY diprediksi akan mampu menghipnotis pemilih perempuan seperti halnya SBY.
Hari penentuan siapa yang akan memimpin Jakarta untuk lima tahun mendatang masih menyisakan waktu sekitar 3 bulan. Tiga pasangan yang telah mendaftar di KPUD Jakarta, memiliki kans yang sama untuk meraih suara warga Jakarta. Tetapi, tidur Presiden Jokowi tidak akan senyenyak manakala calonnya hanya Ahok dan Anies Baswedan.
Salam @yb
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI