Kurang dari sepekan dibukanya pendaftaran di KPU bagi pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang akan bertarung dalam kontestasi pilkada DKI Jakarta 2017, PDI Perjuangan masih tafakur mencari “sabda langit” terkait pasangan calon yang akan diusungnya. Benarkah agresivitas Partai Golkar di bawah kepemimpinan Setya Novanto yang menjadi penyebabnya? Mungkinkah PDIP belum terlalu yakin dengan petahana Basuki Tjahaja Purnama sehingga masih menunggu ‘janji’ lain? Atau ini cara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri merontokkan kekuatan lawan?
Pendaftaran bagi pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta yang maju melalui jalur partai politik akan dibuka mulai tanggal 19-21 September mendatang alias tinggal 6 hari lagi. Meski partai-partai politik lainnya di luar Partai Hanura, Nasdem dan Golkar yang sudah resmi mengusung Ahok- sapaan akrab Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, juga belum menentukan paslon yang akan diusung, tetapi kabar dari Kebagusan- kediaman Megawati, yang paling dinanti masyarakat DKI- mungkin juga warga non DKI.
Perseteruan Megawati dengan Ahok terkait berbagai hal, Ahok versus elit PDIP, pendukung Ahok kontra kader militan PDIP, adalah riak-riak yang menambah antusiasme itu. Apakah PDIP akan mengusung Ahok atau tidak, bukan lagi magnetnya, tetapi dampak dari keputusan itu yang akan seketika merubah konstelasi politik di DKI saat ini. Sebagai gambarannya, keputusan PDIP serta merta akan menentukan berapa paslon yang ikut dalam kontestasi pilgub DKI.
Jika akhirnya PDIP memutuskan mengusung Ahok yang dipasangkan dengan Djarot Saiful Hidayat, Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera sudah final dengan keputusannya mengusung Sandiaga Uno- Mardani Ali Sera, sementara Demokrat, PPP dan PKB sepakat menjagokan Yusril Ihza Mahendra- Saefullah , mau tidak mau PAN membuang Rizal Ramli untuk kemudian merapat ke salah satu dari dua koalisi tersebut. Dengan demikian pilgub DKI akan diikuti tiga paslon.
Namun jika PDIP mengusung calon di luar Ahok, akan terjadi perubahan koalisi yang sangat dramatis. Bahkan dampaknya akan berimbas pada jumlah paslon. Hal ini dikarekan PDIP dengan modal 28 kursi di DPRD memiliki hak penuh untuk mengusung calon sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai lain. Siapa pun calon yang diusung PDIP- di luar Ahok, pastinya akan mendapat dukungan dari PAN. Jika demikian, maka akan ada empat paslon yang berebut kursi empuk di Balai Kota.
Tetapi jika PDIP mengeluarkan Tri Rismaharini sebagai jagoannya, bukan tidak mungkin hanya aka nada dua paslon karena seluruh partai di luar partai pendukung Ahok, akan membuang egonya untuk bergabung dalam koalisi besar dengan satu tujuan ‘menggusur’ Ahok. Jika pun pada putaran pertama tetap dipaksakan empat paslon, maka koalisi besar itu akan terjadi pada putaran kedua mengingat sangat sulit bagi paslon- termasuk Ahok, untuk meraih suara 50+1.
Pertanyaan mendasarnya adalah, mengapa PDIP (baca: Megawati) belum juga memutuskan paslon yang akan diusung? Ada beberapa indikasi yang bisa dijadikan rujukan. Pertama, Megawati sangat berharap bisa mengusung Ahok. Bukan karena hasil lobi Presiden Joko Widodo karena karakter Megawati tidak suka diintervensi oleh siapapun, melainkan adanya kepentingan politik yang lebih luas. Ahok adalah representasi ideologi PDIP. Tetapi sikap Ahok yang mudah loncat partai ditambah beberapa pernyataannya yang sempat melukai Megawati dan kader-kader PDIP, menjadi ganjalan sehingga PDIP terlihat gamang untuk mengambil keputusan mengusung Ahok seperti pernah ditulis di sini. Bukan karena PDIP ingin memberikan kartu anggota kepada Ahok, tetapi inkonsistensi Ahok dalam berpolitik dikuatirkan menjadi bumerang bagi PDIP di kemudian hari.
Pernyataan Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Eriko Sotarduga jika saat ini paslon Ahok-Djarot berada di urutan pertama dalam skenario PDIP, menunjukkan betapa rapatnya Megawati menyimpan keputusannya. Sebab pernyataan itu tidak lebih menggambarkan ketidaktahuan Eriko terhadap dinamika di Kebagusan. Sampai detik ini Megawati masih tetap menempatkan Ahok di urutan pertama dengan berbagai opsi. Megawati bukan tipe pemimpin politik yang pagi kedele sore tempe. Megawati tetap konsisten untuk mengusung Ahok sepanjang yang bersangkutan memenuhi kriteria yang diinginkan. Jika pada akhirnya Megawati memilih calon lain, hal itu bukan sebuah perubahan sikap melainkan realitas yang harus diambil karena Ahok tidak memenuhi kriteria yang diharapkan.
Kedua, calon-calon yang ada belum memenuhi standar minimal calon pemimpin sesuai kriteria PDIP. Selain Risma yang berasal dari dalam kandang sendiri, jago-jago yang melamar dalam proses penjaringan diragukan ke-pdip-annya. Nama Yusril sempat menguat di kalangan internal PDIP. Tetapi Megawati melihat terlalu beresiko jika mengusung Yusril karena berpotensi menjadi pesaing pada gelaran pemilihan presiden dan wakil presiden 2019. Secara idelogi, Yusril yang kader Masyumi, tidak akan bisa match dengan konsep marhaen yangmenjadi dasar perjuangan PDIP. Sementara Sandiaga Uno terlalu elitis sehingga “pas” menyandang baju “rombeng” PDIP.
Manuver Golkar pasca estafet kepemimpinan dari Aburizal Bakrie kepada Setya Novanto, juga membahayakan PDIP. Aksi Golkar mengambil Ahok, dan kemudian “membajak” Jokowi, membuat PDIP tidak nyaman. Jika saat ini memutuskan mendukung Ahok, yang artinya ikut dalam gerbong Golkar, posisi tawar PDIP sangat lemah ketika kelak terjadi friksi di antara partai pendukung Ahok. PDIP akan dicibir sebagai “penumpang gelap” karena tanpa PDIP Golkar plus Nasdem dan Hanura sudah bisa mengusung Ahok. Dengan asumsi PDIP mendukung Ahok, Megawati harus memilih momentum yang sangat brilian agar kesan itu kelak tidak melekat mpada partainya.
Mengapa PDIP tidak sejak awal saja memutuskan mengusung Ahok? Selain beberapa hal seperti disebutkan di atas, dalam sejarhanya, PDIP tidak pernah mengusung calon jauh-jauh hari sebelum pembukaan pendaftaran di KPU. Hal ini berkaitan dengan proses penjaringan dan tahapan lain yang harus dilalui sesuai mekanisme partai. Meski Megawati memiliki hak prerogatif, namun proses kepartaian harus tetap dijalankan sebagai implementasi dari roh demokrasi di tubuh PDIP.
Ketiga, dan ini yang paling penting yakni merontokkan kekuatan lawan. Jika PDIP sudah menentukan calon yang diusung jauh hari sebelumnya, peta kekuatan politik DKI tentu tidak seperti sekarang ini. Bisa jadi, calon PDIP akan dijadikan musuh bersama sehingga di luar akan terbentuk bangunan koalisi yang sangat besar. Kasus “pengeroyokan” paslon Jokowi-Ahok pada gelaran pilgub DKi sebelumnya bisa dijadikan sample bagaimana kekuatan di luar menyatu karena memiliki kesamaan tujuan.
Dengan “diamnya” Megawati, partai-partai lain seperti Demokrat, PKS, Gerindra, bahkan Golkar, kelimpungan karena masih terus menduga-duga peta kekuatan politik saat ini dan yang akan dihadapi pasca keputusan PDIP. Secara politik, hal itu juga menguntungkan Ahok. Sebab saat ini, Golkar belum sepenuhnya bisa mengendalikan Ahok karena sang petahana masih memiliki opsi bakal didukung oleh PDIP. Jika PDIP akhirnya mengusung calon di luar Ahok, bukan mustahil hal pertama yang dilakukan Golkar (baca: Setya Novanto) adalah “memaksakan” calon pendamping Ahok. Minimal memberikan kriteria yang harus dipenuhi Ahok bagi calon pendampingnya. Tentu saja kriteria tersebut tidak jauh dari kepentingan Golkar.
Jadi, jika ada yang menilai Megawati tengah galau karena sampai enam hari sebelum pendaftaran dibuka PDIP belum memutuskan calon yang akan diusung dalam kontestasi pilgub DKI, sebenarnya dirinya sendiri yang tengah galau karena rasa ingin tahunya- terutama ekspektasinya, digantung. Ibarat pengantin yang sudah ngebet ingin menikmati malam pertama, tapi tak kuasa menyingkirkan matahari dari titik kulminasi.
Salam @yb
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI