Ketiga, dan ini yang paling penting yakni merontokkan kekuatan lawan. Jika PDIP sudah menentukan calon yang diusung jauh hari sebelumnya, peta kekuatan politik DKI tentu tidak seperti sekarang ini. Bisa jadi, calon PDIP akan dijadikan musuh bersama sehingga di luar akan terbentuk bangunan koalisi yang sangat besar. Kasus “pengeroyokan” paslon Jokowi-Ahok pada gelaran pilgub DKi sebelumnya bisa dijadikan sample bagaimana kekuatan di luar menyatu karena memiliki kesamaan tujuan.
Dengan “diamnya” Megawati, partai-partai lain seperti Demokrat, PKS, Gerindra, bahkan Golkar, kelimpungan karena masih terus menduga-duga peta kekuatan politik saat ini dan yang akan dihadapi pasca keputusan PDIP. Secara politik, hal itu juga menguntungkan Ahok. Sebab saat ini, Golkar belum sepenuhnya bisa mengendalikan Ahok karena sang petahana masih memiliki opsi bakal didukung oleh PDIP. Jika PDIP akhirnya mengusung calon di luar Ahok, bukan mustahil hal pertama yang dilakukan Golkar (baca: Setya Novanto) adalah “memaksakan” calon pendamping Ahok. Minimal memberikan kriteria yang harus dipenuhi Ahok bagi calon pendampingnya. Tentu saja kriteria tersebut tidak jauh dari kepentingan Golkar.
Jadi, jika ada yang menilai Megawati tengah galau karena sampai enam hari sebelum pendaftaran dibuka PDIP belum memutuskan calon yang akan diusung dalam kontestasi pilgub DKI, sebenarnya dirinya sendiri yang tengah galau karena rasa ingin tahunya- terutama ekspektasinya, digantung. Ibarat pengantin yang sudah ngebet ingin menikmati malam pertama, tapi tak kuasa menyingkirkan matahari dari titik kulminasi.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H