Klaim pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra bahwa Gloria Natapradja Hamel warga negara Perancis berdasarkan UU Nomor 62 Tahun 1958 yang menganut paham kewarganegaraan berdasarkan pertalian darah menurut garis ayah (patriakhi) tidak perlu disangsikan lagi. Sesuai Pasal 1 huruf (d) UU Nomor 62 Tahun 1958, Gloria hanya bisa menjadi warga negara Indonesia apabila pada waktu lahirnya ibunya sudah bercerai atau tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya.
Gloria lahir di Depok, Jawa Barat, pada 1 Januari 2000 dari pasangan Didier Andre Aguste Hamel (Prancis) dan Ira Hartini (WNI). Setuju atau tidak setuju, diminta atau pun tidak, otomatis Gloria adalah warga negara asing (Perancis) karena saat lahir ibunya masih terikat perkawinan dengan warga Perancis. Keinginan Gloria untuk menjadi WNI hanya bisa terlaksana apabila yang bersangkutan mengajukan permohonan untuk menjadi WNI sesuai tata cara perundang-undangan yang berlaku.
Dengan pemahaman itu, klaim Sekretaris Kabinet Pramono Anung bahwa Gloria masih 16 tahun sehingga berdasarkan UU bisa memilih kewarganegaraannya sendiri, sehingga kemudian Presiden memutuskan Gloria bisa ikut dalam Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) 17 Agustus 2016 kemarin, harus dipertanggungjawabkan. Sebab jika Pramono Anung mendasarkan pada ketentuan Pasal 4 huruf (d) UU Nomor 12 Tahun 2006 di mana anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu WNI otomatis berstatus WNI dan WNA dan baru bisa menentukan apakah dia akan menjadi WNI atau WNA setelah berusia 18 tahun, jelas salah kaprah. Seperti dikatakan Yusril, UU Kewarganegaraan tidak berlaku surut sehingga Gloria yang lahir tahun 2000 harus tunduk pada ketentuan UU No 62/1958.
Mengapa istana tidak belajar dari kasus pengangkatan Arcandra Tahar sebagai menteri ESDM? Mengapa orang-orang di sekitar Presiden Jokowi bekerja serampangan sehingga terus-menerus melakukan kesalahan fatal? Kesalahan penyebutan tempat lahir Bung Karno, menandatangani Keppres yang tidak sesuai sikap politiknya, salah menulis kepanjangan BIN hingga KPK adalah beberapa contoh betapa cerobohnya tim dalam (inner circle) Presiden Jokowi. Apakah ada faktor kesengajaan ataukah mereka memang tidak memiliki kompetensi di bidangnya?
Tanpa mengurangi rasa bangga pada perjuangan dan nasionalisme yang ditunjukkan Gloria, “kesalahan” Presiden Jokowi dalam memutuskan kesertaannya menjadi bagian Paskibraka, harus menjadi evaluasi terhadap semua elemen yang terlibat. Sebab menurut Pramono Anung, sebelum memutuskan kesertaan Gloria, Presiden sudah meminta masukan dari berbagai pihak termasuk Menkum Ham dan Panglima TNI.
Semangat peringatan 71 tahun kemerdekaan Republik Indonesia bisa dijadikan momentum bagi Presiden Jokowi untuk membenahi orang-orang yang berada di Ring 1. Pemilihan terhadap pembantunya harus didasarkan pada kompetensi dan pengalaman yang bersangkutan, bukan pada perimbangan kekuatan politik. Bagi-bagi kekuasaan cukup pada level menteri, tapi tidak untuk urusan dalam. Hal ini untuk antisipasi masuknya orang-orang yang memiliki agenda di luar visi-misi Presiden.
Ketegasan Presiden saat bersinggungan dengan eksternal- baik atas nama negara maupun individu, harus mulai diterapkan kepada para pembantunya. Kita tidak ingin Presiden kembali terantuk pada kesalahan elementer yang berpotensi bukan saja menjadi polemik, tetapi bahkan bahan olok-olokkan rakyatnya. Sedih rasanya ketika mendengar ada rakyat yang mencibir Presiden terkait kesalahan-kesalahan tersebut.
Kita tidak menutup mata terhadap banyaknya prestasi yang sudah dicapai Presiden Jokowi. Rakyat di ujung Aceh hingga Papua sudah banyak yang merasakan keberhasilan program-program pembangunannya. Jangan sampai keberhasilan itu dikotori oleh kesalahan-kesalahan akibat kekurang-cermatan pembantunya dalam bekerja dan memberi masukkan.
Rakyat memang tidak peduli dengan kesalahan-kesalahan kecil semacam kesalahan penulisan tempat lahir Bung Karno. Terlebih dalam kasus Gloria di mana masyarakat berada di pihaknya karena melihat semangat dan prestasinya. Tetapi jika Presiden abai dan permisif terhadap kesalahan-kesalahan “kecil”, bukan tidak mungkin pada akhirnya Jokowi akan dihadapkan pada kesalahan yang sangat mendasar dan fatal, yang berpotensi meruntuhkan semua capaian pembangunan selama ini. Dan kita tidak ingin hal itu terjadi.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H