Status kewarganegaraan bersifat melekat pada setiap orang. Namun dengan logika Menteri Menkum HAM Yassona Laoly dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat, status kewarganegaraan seseorang menjadi kabur.
Menurut Yassona dan Arief, kewarganegaraan hanya bersifat administratif berupa selembar kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor. Karena ada lembaga yang mengeluarkan surat tersebut, maka yang berhak mencabutnya adalah lembaga yang mengeluarkan, meski konstitusi menyebutkan seseorang kehilangan kewarganegraannya jika memiliki paspor negara lain.
Mari kita kaji seberapa benar logika kedua pejabat tersebut. Apakah sekedar untuk membela Menteri ESDM Arcandra Tahar yang diketahui memiliki paspor AS dan juga Indonesia, ataukah didasarkan pada konstitusi. Sebab pejabat lainnya, Kepala Garnisun Tetap 1 Jakarta Brigjen TNI Yosua Pandit Sembiring bersikukuh mengeluarkan Gloria Natapradja Hamel dari tim Paskibraka karena Gloria memiliki paspor Perancis.
Siapa yang dimaksud dengan warga negara Indonesia? Apakah hanya mereka yang memiliki KTP/paspor Indonesia? Dalam Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 disebutkan, “Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.”
Dari bunyi pasal tersebut dapat kita artikan, seluruh warga yang secara turun-temurun telah mendiami wilayah Indonesia, adalah warga negara Indonesia. Sejak seseorang dilahirkan di Indonesia serta kedua orang tuanya dan atau salah satu orang tuanya warga Indonesia, adalah warga negara Indonesia. Warga Indonesia adalah juga mereka yang lahir di luar negeri dari kedua orang tua dan atau salah satu orang tuanya asli Indonesia. Dengan pemahaman itu juga, orang-orang dari suku Tengger yang menolak ber-KTP, orang Badui, Kubu dan suku terasing lainnya yang sama sekali tidak tersentuh hal-hal yang bersifat administratif, tetapi diakui sebagai warga negara Indonesia.
Dengan begitu, kewarganegaraan bukan ditentu, dikeluarkan, oleh lembaga tertentu. Kewarganegaraan bersifat alamiah sampai seseorang tersebut menentukan lain. Meski seseorang tidak memiliki KTP, namun dia lahir di Indonesia dari orang tua warga negara Indonesia, maka dia tetap WNI, kecuali setelah dewasa, atau oleh kedua orang tuanya, dialihkan kewarganegaraannya.
Di sisi lain, konstitusi kita mengharamkan kewarganegaraan ganda. Dengan demikian bila ada warga negara Indonesia mengangkat sumpah menjadi warga negara lain atau memiliki paspor negara lain, otomatis gugur status kewarganegaraan Indonesia-nya sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 huruf (f) dan (h) UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Jadi tidak perlu ada lembaga yang mencabut atau memformalkan pencabutan status kewarganegeraan penduduk Indonesia yang sudah bersumpah setia kepada negara lain dan dibuktikan dengan adanya paspor atau surat keterangan lainnya yang setara dengan bukti kewarganegaraan.
Dari logika tersebut, merupakan kekeliruan pikir ketika Menkum HAM dan ketua MK mengartikan kewarganegaraan hanya bersifat administratif. Jika Arcandra Tahar tetap diakui sebagai warga negara Indonesia meski yang bersangkutan (pernah) memiliki paspor Amerika Serikat, maka jangan larang Gloria menjadi anggota Paskibraka dengan dalih bukan warga negara Indonesia karena memiliki paspor Perancis. Jangan pula dihalangi orang-orang yang sudah berbaiat dan memperoleh “KTP” ISIS untuk pulang ke Indonesia dengan alasan yang bersangkutan sudah kehilangan hak kewarganegaraannya.
Kasus Arcandra Tahar menjadi persoalan serius bagi bangsa kita untuk mentaati peraturan perundang-undangan yang ada. Jangan hanya karena memiliki prestasi dan mau bekerja, lalu pejabat seenaknya membuat diskresi, melakukan standar ganda, kepada orang tersebut. Terlepas siapa yang berkepentingan dengan isu kewarganegaraan Arcandra- sekali pun mafia migas, Arcandra harus meletakkan jabatan demi tegaknya konstitusi dan kepastian hukum tanpa diskriminasi.
Salam @yb
Sumber : di sini