Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Risma, Megawati, dan 7 Partai Politik

8 Agustus 2016   10:06 Diperbarui: 8 Agustus 2016   15:03 2887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu isu seksi dalam pertemuan partai-partai politik, yakni PDIP, Gerindra, PKS, Demokrat, PPP, PKB, dan PAN di Menteng siang ini adalah kemungkinan untuk bersatu mengusung Tri Rismaharini sebagai penantang petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada gelaran Pilgub DKI Jakarta 2017. Faktor Risma menjadi perekat tujuh parpol tersebut. Namun, siapa calon wakilnya, akan sangat menentukan rupa bangunan koalisi besar tersebut.

Nama Wali Kota Surabaya itu akan menjadi pengingkar terhadap perbedaan di antara partai-partai dengan basis massa dan ideologi berbeda-beda tersebut. Meski bukan sesuatu yang baru PKS berkoalisi dengan PDIP, biasanya hal itu terjadi pada petahana yang memiliki elektabilitas sangat tinggi. Artinya, bangunan koalisi pengusung lebih disebabkan karena tidak mungkin mengusung calon lain dengan kemungkinan menang 0 persen. Sementara jika koalisi PDIP-PKS, plus partai lain, di Jakarta terwujud, mereka justru mengusung bukan petahana untuk melawan petahana yang menurut sejumlah lembaga survei memiliki elektabilitas di kisaran 35-40 persen. PKS bahkan sudah menawarkan dukungan kepada PDIP tanpa menyetorkan nama. Sesuatu yang luar biasa dalam konteks politik kekinian.

Perubahan sikap PKS tidak lahir semata-mata karena arogansi petahana. Secara nasional, PKS tengah colling down setelah berbagai persoalan muncul di tubuh partai dakwah tersebut. Kunjungan Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman ke Istana menemui Presiden Joko Widodo adalah titik awal upaya PKS untuk “membersihkan” stigma negatif akibat aksi-aksi provokatif satu-dua kadernya seperti Fahri Hamzah. Sohibul berusaha mengembalikan kittah partai dengan melakukan kaderisasi secara senyap. Mereka meninggalkan isu-isu yang menyulut pro-kontra di tengah masyarakat. Praktis dalam enam bulan terakhir, tepatnya sejak dilakukan upaya pelengseran terhadap Fahri Hamzah dari kursi wakil ketua DPR, tidak ada kader PKS yang mengeluarkan statemen “aneh” terkait isu-isu besar yang tengah berkembang di masyarakat.

Hasilnya cukup efektif. Konsolidasi dan kaderisasi di bawah kepemimpinan Sohibul Iman tidak banyak mendapat komentar miring nitizen maupun pengamat. Wajah PKS saat ini sangat berbeda dengan PKS semasa Anis Matta, apalagi Luthfi Hasan Ishaaq. Selain tidak ada lagi statemen kontroversial, kader-kader PKS pun tampil lebih sederhana. Bahkan penampilan Sohibul Iman terlihat sangat ndeso untuk ukuran ketua partai.

Tentu jalan menuju koalisi dalam Pilgub DKI Jakarta masih panjang. Namun satu hal yang pasti PDIP mulai kesengsem dengan perubahan sikap politik PKS. Jika sebelum pilpres, tepatnya sebelum terjadi pergantian kepemimpinan di tubuh PKS, PDIP selalu mencurigai gerakan politik PKS, kali ini pandangan (sebagian kader PDIP) terhadap PKS mulai berbeda. Jika lawan sudah berubah, sudah mengikuti tarian kita, mengapa kita tidak mencoba memberinya ruang gerak?

Selain perubah sikap PKS, juga Demokrat, PDIP sendiri tengah mencari pijakan yang kokoh untuk meredam gejolak faksional yang terbentuk akibat perbedaan pandangan terhadap calon yang akan diusung dalam Pilgub DKI. Faksi Jokowi sempat menguat. Faksi ini menginginkan PDIP mengusung Ahok. Bahkan Jokowi sampai harus turun tangan sendiri. Sedikitnya dua kali Jokowi melobi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Setelah menemuinya secara khusus di kediaman Megawati, Jokowi lalu mempertemukan Ahok dengan Megawati dalam perjalanan menunju Rapimnas Partai Golkar beberapa waktu lalu. 

Namun upaya Jokowi gagal dengan menyedihkan. Megawati tidak mau “memaafkan” Ahok. Jokowi pun tidak lagi memaksakan diri untuk mendukung Ahok mengingat posisinya yang serba sulit akibat manuver anak-anak kemarin sore yang tergabung dalam komunitas Teman Ahok, beberapa waktu lalu. Kader-kader militan PDIP yang sudah terluka akibat ejekan dan hinaan di media sosial, kian garang melawan Ahok. Jokowi paham soal itu sehingga sangat beresiko andai tetap memaksakan diri mendukung Ahok. 

Terlebih Jokowi masih belum yakin dengan kendaraan yang diberikan Partai Golkar untuk maju dalam pemilihan presiden dan wakil presiden 2019 mendatang. Tidak ada jaminan dukungan itu tidak akan berubah sebelum hari “H” pilpres. Jangankan untuk jangka waktu tiga tahun, dalam sekejap saja sikap politik bisa berubah. Lagi pula, andai bergantung pada dukungan Golkar, maka sisa jabatannya akan disandera oleh politikus-politikus partai penopang Orde Baru tersebut yang dikenal lihai dan piawai dalam melakukan manuver politik.

Faksi kedua menginginkan PDIP mengusung calon sendiri tanpa harus bergantung pada Risma. Hal itu terlihat dari lontaran “provokatif” Masinton Pasaribu jika Ahok bisa dikalahkan dengan lawan yang biasa-biasa saja yang dianalogikan dengan “kambing dibedaki”. Faksi ini lebih condong mendukung Djarot Saiful Hidayat dan kader-kader PDIP yang ada di Jakarta. Namun faksi Masinton dan kawan-kawan tidak mungkin bisa mempengaruhi kebijakan PDIP karena secara historis Megawati tidak menyukai kadernya banyak cuap-cuap di media. Semakin keras mereka bersuara, semakin jauh pula keinginannya bisa diwujudkan oleh DPP PDIP. Hal ini terkait sejarah panjang PDIP di mana Megawati tidak menghendaki kebijakan partainya dikendalikan oleh isu rekaan media.

Faksi ketiga, dan inilah faksi paling dekat dengan Megawati. Faksi ini langsung berada di bawah kontrol Pramono Anung. Megawati sangat mempercayai Pram- begitu sapaan Sekretaris Kabinet Kerja itu. Banyak kebijakan Megawati yang “mengikuti” masukan dari faksi Pram. Bahkan kader sekelas Hasto Kristiyanto, Tjahjo Kumolo dan “pendekar” PDIP lainnya tunduk pada Pram. 

Satu poin positif faksi Pram di mata Megawati adalah kesantunannya dalam menyampaikan masukan. Selalu ada opsi lain (reserve) sehingga Megawati tidak merasa di-fait accompli. Faksi Pram juga sangat moderat sehingga mampu membangun komunikasi dengan partai-partai yang menjadi lawan PDIP. Faksi ini menyodorkan Risma dengan tetap memasukkan opsi Ahok. Faksi ini yang “menambahkan” nama Ahok ketika DPP PDIP menyetorkan nama-nama hasil penjaringan calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta kepada Megawati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun